Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajah di Bukit Batu

31 Agustus 2021   19:03 Diperbarui: 31 Agustus 2021   19:06 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tidak ingat siapa yang mencetuskan ide itu, tetapi menurut semua kawanku itu ide seorang jenius pada saat itu. Tentu saja, Banda Aceh hanyalah sebuah kota pemerintahan kecil pada masa itu, dan kegembiraan sulit didapat. Apa yang disebut jalan utama hanyalah beberapa toko yang berkerumun di sekitar Masjid Raya Baiturrahman tanpa ada hambatan lalu lintas saat melintas, dengan gedung stasiun lama sebagai bongkar muat barang untuk memenuhi permintaan pasar yang tak seberapa di sisi timur.

Kami dapat memandang Gunung Selawah Agam yang menjulang tinggi dan dengan bangga mengetahui bahwa kami sedekat itu dengan gunung di dunia kami, tetapi di benak kami, semua sadar bahwa puncak yang mulia itu jauh di atas sana dan kami jauh di sini, di kota yang pekat dan panas dengan udara asin laut, tempat orang tua kami mencari nafkah dengan menjadi pegawai dan memelihara beberapa sapi atau kambing, dan kami anak-anak hidup beberapa minggu setiap tahun ketika film datang dari Hollywood dan Bollywood untuk menghibur di tiga bioskop yang bersisian dengan tiga pasar.

Pernah sekali waktu salah satu syuting film dilakukan di bukit batu jalan lintas menuju Medan, ketika aku dan beberapa teman disewa untuk membantu menjadi piguran selama beberapa hari.

Kami berdiri di sekitar lokasi dan menjadi bosan dalam lima belas menit yang panjang, ketika seseorang menetaskan ide untuk melukis batu. Dan begitulah, pada sore musim kemarau yang hangat, kami dan pacar-pacar kami berada di bak pikap milik salah satu kawan dan naik ke perbukitan, membawa kuas dan beberapa kaleng cat yang kami curi dari gudang prop. Kami memilih sebuah batu besar di jalan utama menuju ke tempat di mana orang-orang melakukan syuting film, dan kami mulai membuat mahakarya kami sendiri.

Cewek-cewek bertindak sebagai pengarah seni dan para cowok memanjat ke atas batu, melukis sebanyak mungkin yang kami lakukan di batu, tetapi dalam satu atau dua jam, kami telah menciptakan Madhuri, setidaknya begitu kami menyebutnya saat itu. Mungkin nama itu diteriakkan seseorang penggemar film India pencinta Madhuri Dixit di rombongan kami. Dan nama itu begitu melekat. Aku tidak begitu ingat.

Bagaimanapun, dia memiliki mata hijau besar dengan bulu mata panjang, dua lubang hidung coklat lucu di hidungnya yang berbatu, bibir merah tebal sekitar satu meter lebarnya, mencuat sedikit di ujungnya dengan senyum yang tenang, dan busur biru kecil ke atas. rambutnya berada di batu berlumut.

Kami para cowok menganggapnya cantik dan cekungan pasir kecil di bawah tatapannya yang mantap langsung menjadi tempat nongkrong kami. Kami berkendara di malam hari atau di akhir pekan dan duduk-duduk di bak pikap, minum tuak nira yang kami beli dari petani, berbicara tentang masa depan. Bagaimana kami akan keluar dari Banda Aceh secepat mungkin, tinggal di Medan atau bahkan Jakarta.

Kami akan menjadi kaya, menikah dengan orang-orang cantik, memiliki anak-anak yang cantik, tetapi yang pasti kami tidak akan pernah kembali ke Banda Aceh. Pada tahun-tahun berikutnya, itulah yang hampir semua dari kami lakukan, meskipun beberapa istri-istri yang kami nikahi tidak begitu cantik, dan beberapa anak hanya cantik menurut orang tuanya sendiri, dan hampir tidak ada dari kami yang menjadi kaya. Bahkan ada satu atau dua dari kami yang akhirnya kembali ke Banda Aceh, untuk menemukan kota yang telah berubah. meskipun tidak dapat mengetahuinya secara sekilas.

Kota kami berkembang, meski bentangan toko yang sama di sekitar Masjid Raya tetaplah sebagai pusat keramaian, sekarang toko-toko itu dimiliki oleh generasi kedua dan ketiga yang tak tergoda untuk pindah ke kota besar, dan mereka melayani warga yang bertahan karena meneruskan tradisi keluarga sebagai pegawai kantor pemerintah, atau pendatang musiman yang bersiap untuk menyerap anggaran yang dikucurkan setiap tahun, atau keluarga yang pulang menghadiri pemakaman salah satu sanak.

Kota kami memiliki ratusan kedai kopi tapi agar trendi disebut kafe. Stasiun kereta api, hotel, gedung kesenian yang seharusnya menjadi landmark bersejarah lenyap menjadi ruko atau lahan terlantar.

Orang-orangnya berbeda-beda. Para pengusaha kebanyakan sudah pergi, tidak ada yang benar-benar mengenal satu sama lain seperti di masa lalu. Dan Madhuri ... dia sudah pergi, menghilang beberapa tahun yang lalu ketika sekelompok seniman pemula lain dengan estetika berbeda mengambil kuas dan cat mereka sendiri dan mengubahnya menjadi iblis. Matanya berubah menjadi zombie putih dengan lubang kadal  sebagai pupil, lubang hidungnya meneteskan cat merah, dan bibirnya ditambah gigi taring putih dan rahang hitam menganga, dengan sentuhan merah yang terlihat seperti darah di bagian belakang tenggorokannya. Busur biru kecil manisnya lenyap.

Aku jarang ke sana. Tapi ketika aku melintas dalam perjalanan pulang pergi dari luar kota, sering kulihat sekelompok anak-anak muda nongkrong di cekungan berpasir, bersandar pada jip atau duduk di bak pikap, berbicara dan minum seperti yang biasa kami lakukan.

Aku yakin mereka sedang merencanakan dan bermimpi tentang masa depan seperti yang kami lakukan, dan aku juga yakin bahwa wajah di atas batu akan berubah lagi.

Bahkan mungkin aku masih hidup untuk melihatnya kelak.

Bandung, 31 Agustus 2021

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun