Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sumini

12 Agustus 2021   22:52 Diperbarui: 12 Agustus 2021   23:35 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang untuk mata. Mata adalah yang terakhir dan paling penting.

Aku membuat lukisan potret, bukan dari model hidup tetapi dari pikiran, ingatan, wajah yang terlihat secara sepintas yang kubawa ke kanvas dengan cat minyak. Setelah menambahkan mata, lukisan bukan lagi merupakan susunan sapuan kuas. Wajah itu menjadi hidup. Mata memberi jiwa.

Meskipun wajah ini memiliki kulit gelap dan rambut hitam, Aku memilih warna biru pucat untuk mata. Aku tidak bisa mengatakan alasannya.

Secara perlahan aku menyapu kuas untuk mencapai rona yang kuinginkan, menggelapkan pupil, menggunakan sapuan kuas lembut untuk membuat warna putih menjadi lebih matural. Setelahnya, aku berdiri kembali untuk melihat hasilnya.

Sumini manatap ke arahku. Matanya, mata yang baru kulukis beberapa saat yang lalu penatapku, menuduh.

Mengapa? Mengapa baru sekarang?

Aku mundur, memalingkan wajah, lalu kembali menatap lukisan itu. Tidak ada kesalahan. Itu Sumini.

Aku meletakkan kuas, menyeka tanganku dengan kain lap dan meninggalkan ruangan.

Dulu. Permainan anak-anak yang konyol.

Kenapa sekarang?

Aku menuangkan secangkir kopi dan berpikir. Ingatan itu kembali.

Sumini adalah seorang pengasuh anak. Pengasuhku. Saat itu umurku sembilan tahun, dan yakinlah, aku tidak membutuhkan seorang pengasuh. Transmigran dari seberang, sepupu jauh dari kerabat jauh. Orang tuaku mempekerjakannya karena upahnya murah.

Aku tidak menyukainya. Sangat. Aku membencinya.

Aku tidak bisa memahaminya kata-katanya. Pakaiannya lusuh, dan dia bau bawang. Yang terburuk, dia sangat disiplin. Apa yang dia perintahkan---tidur, gosok gigi, makan sayur---harus kulaksanakan. Tidak boleh membantah. Tidak ada tanya jawab.

Aku sangat membencinya hingga ingin membuatnya mati. Tapi aku berumur sembilan tahun. Apa yang dapat kulakukan?

Suatu malam, orang tuaku pulang terlambat. Aku seharusnya sudah tidur, tetapi seperti biasa mendengarkan dari atas tangga. Sumini memberi tahu orang tuaku bahwa dia ketakutan. Saat itu bulan purnama. Roh jahat dan setan berkeliaran. Ayahku terkekeh dan meyakinkannya bahwa dia akan pulang ke rumahnya dengan selamat.

Roh jahat? Setan?

Besoknya, aku ke kios yang menjual surat kabar dan membeli majalah film edisi khusus film horor. Aku menggunting gambar-gambar monster mulai dari Drakula hingga gremlin.

Setiap kali Sumini datang ke rumah, aku menyelipkan gambar-gambar itu untuk ditemukannya. Di kursi, di dompet, atau dalam saku jaketnya. Aku mengira dia akan membuangnya. Tapi tidak. Dia menatap gambar-gambar itu. Menatap dan kemudian berlutut untuk berdoa.

Gambar tidak cukup. Seekor tikus mati dengan tali menjerat di lehernya, boneka tanpa kepala, pertanda buruk apa pun yang bisa diciptakan oleh pikiran kekanak-kanakanku.

Aku menyiksanya. Untuk setiap horor yang kuciptakan, Sumini semakin linglung. Dia tidak lagi tersenyum, penampilannya semakin acak-acakan. Keuntungannya buatku, dia kehilangan minat untuk mengatur diriku. Tentu saja aku senang.

Pada suatu Jumat malam, orang tuaku pergi berakhir pekan. Aku harus tinggal di rumah Sumini. Ini adalah kesempatan yang tidak kuduga sama sekali. Baru-baru ini aku menemukan kerangka ular di semak-semak. Kerangka itu kutetesi dengan cat merah. Aku meletakkannya di lemari dapur Sumini.

Menjelang tengah malam, ayahku mengetuk pintu. Ketika tidak ada jawaban, dia membuka pintu yang tak terkunci, menyalakan lampu dan berseru, "Ya, Tuhan!" dan jatuh tersandung ke belakang.

Beberapa detik sebelum ayah menutup pintu, aku melihat Sumini mengambang di udara, menatapku.

Kemudian, orang tuaku memberitahu bahwa Sumini berhenti. Mereka tidak pernah membicarakannya lagi. 

Seminggu kemudian kami pindah ke luar pulau.

***

Bertahun-tahun kemudian, pekerjaan membawaku kembali. Saat check-in di hotel, karyawan hotel melihat namaku dan berkata, "Hei, nama Anda mirip dengan anak yang membunuh pengasuhnya."

Malam itu aku mendengar kisah yang tak diceritakan orang tuaku ketika kami pindah. Sumini gantung diri. Dia meninggalkan catatan:

bocAh ibLiS

Cerita berkembang dan entah bagaimana aku disebut sebagai pembunuhnya. Karyawan hotel mengatakan orang-orang tua mempercayainya. Aku hanya bisa berpikir betapa bodohnya manusia yang percaya takhayul. Yang kulakukan hanyalah semacam permainan kanak-kanak, tidak lebih. Pasti ada hal lain yang menyebabkan Sumini gantung diri. Orang tidak bunuh diri karena trik kekanak-kanakan.

Aku mendengarkan cerita karyawan hotel sekali lagi dan kembali mengubur Sumini ke bawah alam sadarku.

***

Setelah menghabiskan kopi, aku kembali ke studio. Mata Sumini menatapku. Mata yang menatapku sebelum ayah menutup pintu.

Aku mengambil kuas dan kembali fokus ke mata. Memilih warna dengan hati-hati, menyapu kuas perlahan.

Selesai. 

Lebih baik sekarang.

Mata itu kini tertutup. Tatapan yang menuduh itu lenyap sudah.

Bandung, 12 Agustus 2021

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun