Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CMP 16: Cerita Cinta yang Lain

1 Agustus 2021   13:21 Diperbarui: 1 Agustus 2021   13:34 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sang Pria:

Ada bau yang mengikutiku setiap kali aku pilek. Tapi aku tak bisa menjelaskan mengapa itu ada di sini sekarang, karena aku tidak sedang demam.

Mungkin karena aku gugup. Ya, pasti begitu. Aku pilek karena gugup di sekitar orang-orang. Yang memalukan adalah bersin yang menyusul terjadi, bersin bernada tinggi diikuti oleh dengusan keras yang mengganggu sejak aku kecil.

Aku sering ditertawakan gara-gara bersin itu. Bahkan sampai sekarang, aku masih mendapatkan seringai lebar dari orang-orang.

Pasti karena aku gugup.

Tapi kenapa aku mesti gugup? Bukankah ini yang kuinginkan?

Aku sedang di rumahnya. Acara selalu berlangsung di rumah mempelai wanita, bukan? Rumah bapak gadis itu.

Ada dua tenda yang disusun saling berhadapan. Satu untuk keluarganya, satu untuk keluargaku. Bukan resepsi besar-besaran, hanya untuk kedua keluarga yang ingin melepaskan tanggung jawab, menyingkirkan anak-anak mereka.

Tenda adalah ide yang buruk. Aku menyapu keringat di keningku berkali-kali dengan tisu. Panas di dalam, panas di luar, dan tak ada angin yang membagikan udara segar.

Keringatku mengucur deras.

Kalau saja aku bisa bisa bercanda, bilang karena akan melepaskan masa lajang. Tapi hari ini aku sedang tidak ingin tertawa. Perkawinan ini adalah kesepakatan yang dipaksakan.

Dia duduk di antara ibu bapaknya, terlihat tidak secantik saat pertama aku berkenalan dengannya.

Apakah selama ini aku tertipu oleh riasan wajah?

Sudah terlambat untuk mengetahuinya.

Aku tersenyum dan dia balas tersenyum kembali. Senyumku hanya basa-basi karena orang-orang sedang menonton.

Aku tidak mencintainya, tapi hanya aku yang tahu. Ya, aku tidak mencintainya.

Tentu saja tidak.

Dia lebih tua empat tahun, dan lebih sukses, dan ketika kami masih kanak-kanak dia sering mengejekku.

Aku tidak mudah lupa. Sayangnya aku tidak ingat apa yang mengapa dia mengejekku. Mungkin dia biasa mengejek siapa pun.

Sekarang aku harus berpura-pura mencintainya sampai maut memisahkan kami.

Ini tidak seharusnya terjadi-maksudku, aku tidak harus menikahinya. Ini pemaksaan.

Dua bulan lalu, Cecilia menjumpaiku dan mengatakan: 'aku hamil'. Dia bilang itu anakku.

Siapa pun yang kenal Cecilia pasti akan menebak bapak bayi setidaknya lima lelaki yang berbeda.

Dia akan membuka kakinya untuk siapa saja yang memiliki kaki ketiga sambil tersenyum.

Tapi kemudian dia mengancam akan memberitahu paman yang memeliharaku sejak kecil. Dan aku panik.

Pamanku bukan orang bodoh yang dengan gampang percaya pada cerita semacam itu, tetapi akhir-akhir ini dia telah mendorongku untuk menikah dan mungkin akan memaksaku menikahi Cecilia.

Pilihannya sederhana: lebih baik menikah dengan perempuan yang biasa menertawakanku, daripada ditertawakan oleh seluruh dunia karena menikahi wanita yang meniduri lebih banyak ranjang daripada nyamuk yang berkeliaran.

Jadi di sinilah aku, membawa seserahan dan mas kawin, akan menikahi seorang gadis yang tidak kucintai. Tapi aku yakin lelaki lain pasti punya alasan yang lebih buruk.

Aku menatapnya lagi. Dia menatapku.

Di sampingku, pamanku bangkit, berjalan ke depan tenda sisi kami, dan meminta hadirin untuk tenang.

Aku tersenyum pada calon istriku.

***

Sang Wanita:

Senyum yang kini terpampang di wajahku karena mengingat ulang tahunku yang ke-18.

Hari itu bertepatan dengan konser Avenged Sevenfold. Teman-temanku semua menonton. Rudi berjanji akan memberikan ciuman ulang tahun jika aku datang.

Aku sudah mengatakan kepada papa berminggu-minggu sebelumnya bahwa aku ingin merayakan ulang tahun dengan menonton konser. Aku belum pernah dicium sebelumnya. Dan Rudi adalah cowok idamanku. Itu akan menjadi hadiah ulang tahun terbaik.

Siangnya aku dan keluarga merayakan hari ulang tahun di samping tempat tidur nenek yang lumpuh karena stroke. Dan kemudian pada malam itu, ketika ayah saya bertanya apakah saya menikmati acara siang itu, aku senyum terpaksa dan menjawab, "Ya!"

Itulah yang sekarang aku lakukan. Membuat senyum di wajah hingga hampir lupa untuk menanggapi sapaan yang baru saja dilontarkan lelaki tua itu kepada kedua keluarga.

"Terima kasih...," gumamku.

Aku menatap calon suamiku. Apakah dia yang ingin kamu nikahi, Cecil? Dengan siapa kamu akan menghabiskan hidupmu?

Kemejanya basah kuyup oleh keringat, dan hidungnya berkerut seolah-olah dia tidak tahan dengan bau tubuhnya sendiri.

Dia memelihara janggut. Tuhan tahu aku benci janggut.

Aku harus mengubah penampilannya. Cukur janggutnya, buat dia terlihat rapi jika dia akan menjadi suamiku.

Lelaki itu adalah tambang emas, tidak diragukan lagi. Dia mungkin tidak terlalu berharga sekarang, tetapi pamannya memiliki sebuah pabrik di pinggiran kota yang akan menjadi miliknya suatu hari, menurut hukum adat di pihak mereka. Itu sebabnya aku menikahinya. Bukan karena aku mencintainya.

Jika ada pelamar lain, aku bahkan sama sekali tidak akan mempertimbangkan dia.

Selama ini aku membiarkan diriku menua sambil menghibur diri bahwa suatu hari Rudi akan datang melamarku.

Seiring bertambahnya usia, jumlah pelamar menurun sampai akhirnya tak ada pilihan sama sekali. Tapi aku baik-baik saja dengan lelaki ini. Dan jika tidak berhasil, aku akan mendapat tunjang kompensasi.

Dan aku akan tetap bahagia, apa pun yang terjadi. Bagaimanapun juga, Rudi masih bisa menemuiku. Sayangnya kami tidak bisa menikah. Dia harus menikah dengan orang lain karena bapaknya seorang pemuka adat. Tapi dia bersumpah bahwa dia mencintaiku. Dan aku percaya padanya.

Aku tersenyum padanya. Tapi bukan dia yang aku senyumi. Rudi ada di pikiranku, tentu saja. Lucunya, lelaki berjanggut kambing yang merupakan calon suami balas tersenyum. Andai saja dia tahu...

***

Sang Penulis:

Dan pada pagi hari Minggu ini, aku duduk di depan laptop, menulis sebuah cerita cinta yang lain ....

Bandung, 1 Agustus 2021

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun