Juli Pepa jatuh cinta pada Wiro Alas tepat pukul 12:34---tepatnya di bawah pohon ki hujan.Â
Bukan cinta yang romantis dan lembut, tetapi ragu-ragu, dan sangat canggung.
Wiro menempatkan tangannya di pinggul Juli, dengan rokok di mulutnya. Asapnya berputar-putar di sekeliling mereka seperti semacam mantra sihir panas melekat yang dilepaskan penyihir jahat dalam sinetron kolosal lokal.
Tapi kemudian Wiro terbatuk, dan ciuman Juli yang menutup mata meleset dari sasaran, mendarat di dagunya yang kasar, bukannya di bibir yang mengerut---dan rasa nyeri yang menyengat memelintir tepat di bawah tulang rusuk dada.
Kemudian Juli terayun miring. Bukan karena ciuman yang gagal atau karena malu, tetapi karena apa pun yang baru saja menjepit jantungnya telah membuatnya pusing dan lemah, dan  ... ini bukan seperti yang dia pikir akan terjadi. Tidak seperti ini. Jangan ...  seperti ini---
***
Dan ketika Juli siuman, dia sedang berbaring di ranjang rumah sakit.
Di sekelilingnya mesin berbunyi bip bersahut-sahutan. Selang menjuntai dari lengannya.
Seorang dokter, atau mungkin seorang perawat pria, mendongak dari papan penjepit kertas di tangannya dan tersenyum. "Kamu beruntung," katanya, menepuk kakinya. "Jika kamu terlambat dibawa ke sini---"
Tapi Juli sudah bangun dan bergerak menuju pintu.
Baju rumah sakitnya dicampakkannya ke ranjang. Sikunya berayun di udara menyentak selang hingga jarum IV copot dan cairan infus menetes di lantai. Mesin meraung dan menjerit.