Setelah 30 tahun, hal pertama yang kamu sebutkan di antara keripik nachos adalah malam gerimis di Yogyakarta.
Aku juga ingat, kok.
Kita berdua, berjalan menyusuri jalan Malioboro, setelah menonton Top Gun. Sebelumnya menyeberang rel kereta dari jalan Mangkubumi. Malam tanpa tujuan, sebenarnya.
Percakapan mekar seperti kota yang mengalir di sekitar kita. Berbincang tentang ilmu jiwa dan bertanya-tanya apakah kamu lebih gila dari klienmu.
Kita bicara tentang guru favorit di SMA, kamu dengan bahasa Jerman dan aku Fisika. Setuju wali kelas lebih peduli tentang kita daripada guru lainnya. Berkedip saat bicara tentang rasa teruntuk kekasih masing-masing.
Kita tertawa, bertukar cerita dari teman-teman dan menemukan kita berdua tahu siapa yang diam-diam menyuka.
Aku cerita padamu tentang kritikus film termasyhur yang kukenal sebagai seorang kernet angkot. Kamu bilang kamu senang menjauh sejenak dari kampus dan pacarmu.
Seperti gemerlapnya alun-alun dalam pengampuan lampu yang berkedip-kedip di balik rimbun beringin kembar, kamu berspekulasi tentang masa depan.
"Apakah kita menginap saja?" kamu berkata.
Berdiri sejengkal dari rambutmu yang beriak, warna jintan bintang dalam pendar cahaya lampu, aku melihat kamu yang sesungguhnya: gadis yang lembut, bukan provokator yang pernah kubayangkan.
Jika saja aku menjawab 'ya', malam itu akan menjadi purna alami. Namun, kita punya takdir masing-masing tanpa titik temu. Dan aku akan merindukanmu.