Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kepada Sesiapa yang Terbangun sebagai Pujangga

14 Juli 2021   20:30 Diperbarui: 14 Juli 2021   20:45 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Komponen keinginan. Yang kuingat cahaya di jendela, warna dan tekstur dinding (matahari di belakang menciptakan siluet, lingkaran cahaya)-- emosi bertahun-tahun kemudian terbukti identik dengan rona. Kemampuan, atau kekurangannya, untuk menyerap klorofil. Tato seukuran telapak tangan di pangkal tulang belakang. Di dapur yang tidak ber-AC, berkeringat hanya untuk duduk dengan buku, baju basah, rambut tergerai (jatuh perlahan di leher).

Berabad-abad kemudian, di antara pecahan pot keramik, mereka akan mengingat kita. Serangga dalam tariannya, di antara lampu dan bilah kipas angin di langit-langit.

Isi mimpi, konteks mimpi, mata orang lain dihadapkan dalam tindakan. Burung beo yang bisa menirukan kata rahasia elektronik dengan sempurna. Yang kita bayangkan sebagai pujangga puisi tidak lebih dari anak laki-laki yang terkejut bahwa suksesi tetua harus diturunkan kepadanya seperti anak-anak bermain rumah-rumahan atau bagaimana orang-orang buangan harus mendiami sisa Kota Tua. Siapa yang tinggal di rumah raksasa begitu dia pergi? Denting notifikasi pesan masuk.

Layar membeku lama setelah tak dibutuhkan. Berdiri di peron kereta sebelum fajar. Bayangkan apa yang ada di cahaya lampu yang perlahan mendekat. Kian Santang tidak bisa mengemudi lebih cepat.

Rumah yang kini sesak oleh kerabat, mertua, teman, tubuh ayah, tiba-tiba bukan ayahmu lagi, tetapi sesuatu yang asing, dingin, sangat lain. Laba-laba raksasa berkaki panjang, anggun dan bersudut, di tengah dedaunan dan batang taman.

Jauh dari matahari, rona langit terlihat melalui pepohonan berkurang malam bertahap. Koloni lalat dalam geometri asimetris terbang canggung, cahaya dan panas turun dari bohlam di bawah kipas langit-langit. Seorang wanita berjalan menembus pepohonan. Di dalam hutan, para pujangga puisi terdengar bergumam, bertengkar tentang siapa yang duduk di dekat bara api unggun yang sekarat. Segera saja matahari bersinar terlalu merah, terlalu besar di cakrawala. Tidak ada yang merasakan dinginnya.

Bandung, 14 Juli 2021

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun