Pria itu mengenakan setelan jas mewah dan eau de perfume yang dari baunya sangat, sangat mahal.
Matanya cokelat tua tajam. Tidak membawa troli, tidak juga keranjang belanja. Tiga item. Buket bunga mawar putih di jepit di ketiak lengan kiri, sekotak kartu remi dalam genggaman, sebotol wiski menggantung di tangan kanannya.
Dia berdiri diam dengan sangat nyaman, meskipun sesungguhnya pria sepertinya tidak pantas berada di antrean kasir supermarket.
Kapan terakhir kali seorang pria memberikanku bunga? pikir Maya.
Mungkin usianya akhir empat puluhan atau awal lima puluhan. Bukan tampan, tetapi jantan dan memikat.
Pria itu menatapnya cukup lama, lebih dari yang biasa diberikan pria-pria umumnya.
Apakah dia berpikir untuk merayu dirinya, gadis rambut kuncir kuda, tanpa riasan, celana jins yang telah dikenakannya sepanjang akhir pekan?
Dia mungkin setua ayahnya.
"Pak, apa Anda ingin duluan?" Maya bertanya, menunjuk barang-barang yang dipegangnya. Pria itu memberi isyarat sebaliknya.
"Guru, ya?" tanyanya.
Mata cokelat tua itu menginventarisasi isi troli Maya: buku mewarnai, kotak krayon, jam alarm digital, bungkus sereal untuk satu porsi, sepatu bot karet tokoh kartun, dan beberapa buku Iqro'.