Malam musim panas yang pendek di bulan Juli.
Kita berbaring di gundukan rumput. Â Kamu mengarahkan laser pointer jauh ke langit yang cerah, menembakkan selarik sinar oranye dari semak belukar padang ilalang.
Kamu menyipitkan mata, mengikuti jejak oranye yang meluncur ke konstelasi yang berkelap-kelip. Biduk Kecil---Ursa Minor---sangat mudah dikenali.
"Mengapa kamu terus menunjukkan bintang purba yang sama?" Aku menyepak gumpalan debu awan saat kita berbaring berdampingan.
Peternakan milik ayahmu berdampingan dengan resort yang baru dibeli keluargaku. Di sini radius sepuluh kilometer dianggap dekat, tetapi bagaikan jarak antarbintang untuk seorang remaja kota sejak lahir yang begitu terbiasa dengan hutan beton tanpa bintang di langit yang terang benderang terpolusi cahaya lampu listrik.
Topi klub tim sepak bola kesayanganmu---aku masih tak paham mengapa olah raga dengan benda lonjong dan nyaris tanpa menendang itu kalian sebut 'sepak bola'---bertengger manis di kepalamu, dengan kuncir kuda pendek yang dikepang mencuat ke belakang saat kamu menatap bintang-bintang.
Kamu mendengus. "Apa maksudmu? Itu Bintang Utara, Polaris. Bintang terpenting di jagat raya."
Cahaya oranye menari berputar-putar mengorbit Polaris, membentuk lintasan elips di titik cahaya putih terang. Debu di pipimu gagal menyembunyikan rona merah ketika mata kita berserobok.
Bintang-bintang di langit memancarkan cahaya pucat yang cukup untuk membuatku melihat perubahan gradasi warna di wajahmu saat dahimu berkerut serius.
"Betul, tapi kita mengamatinya ... setiap malam dalam minggu ini. Apa yang membuatnya istimewa?"
Kamu melambaikan tangan melengkung melintas cakrawala. Menarik garis tegak lurus ke langit. "Polaris diam tidak bergerak, selalu ada di sana."
Aku mengajukan pertanyaan singkat, gaya hidup urban yang tak gampang hilang. "Kenapa dia tidak bergerak?"
Belakangan aku tahu jika kamu membeli tiga buku bekas dan meminjam majalah kusut tentang astronomi tanpa mengembalikannya dari perpustakaan sekolah.
 "Karena dia memang tidak seharusnya bergerak. Dengan begitu kita bisa selalu mengandalkannya."
"Selalu?"
Cahaya bintang membuatku mengedipkan mata. Kamu menggeliat, jarak hidungmu dan hidungku kurang dari sejengkal. Tak sengaja jarimu menjatuhkan laser pointer, dan sinar oranye kembali memasuki atmosfeer bumi dan mendarat di sisi tubuhmu.
"Yah, sebenarnya, dalam 10.000 tahun, Polaris akan menjadi seterang Vega. Bumi berotasi dan berevolusi dan menempatkan Vega di tempat Polaris sekarang."
Kamu terengah-engah, tersentak saat udara di sekitar tubuh kita yang nyaris melekat menghangat. "Tidak bisa disebut diam tak bergerak, kalau begitu."
Kamu merasa terpojok dengan kata-kataku. Menegakkan punggung, "Tapi tetap namanya Bintang Utara, hanya yang bintang berbeda!"
"Easy girl!" kataku sambil tertawa. Pipimu yang terbakar lebih panas daripada bintang raksasa merah, tapi kamu menurut.
Kamu menatap Orion, aku menggores tanah dengan jari. "Dari mana kamu mempelajari semua itu?"
Sebelah earphone berkualitas selalu terkunci di telingaku. Lagu apa pun yang aku dengarkan, kamu tidak akan tahu. Di rumahkmu, seni percakapan lebih disukai daripada musik. Mungkin itu yang membuat sains, teruatma astronomi menjadi mudah untukmu.
"Aku mempelajarinya."
Tawaku meluncur ke angkasa. "Kamu benar-benar kutu buku, Yvonne."
Tidak, aku tidak bermaksud mentertawaimu. Meskipun aku acapkali serius, tapi ini bukan hinaan. Tetap saja, pipimu semakin memerah, dan mungkin aku menikmatinya.
Kamu berguling meraih pointer laser-mu, menyembunyikan pipimu yang membara ke tanah.
Aku bergerak dan kakiku menggesek rerumputan, menimbulkan bunyi gemerisik pelan dan lembut.
"Lihat, mamaku bilang bintang-bintang bernyanyi. Begitulah cara kita mengikuti mereka."
Kamu tampak lega karena aku tak lagi melanjutkan bahasan tentang kekutubukuanmu. Kamu tertawa, meskipun seringaimu tak menyembunyikan muntahan potongan-potongan apa yang kamu telan tentang benda-benda langit. "Bintang tidak bernyanyi. Mereka adalah bola gas dan ... macam-macam lagi."
"Itu karena kamu tidak mendengarkan."
Rumput merintih saat aku berguling membalikkan tubuh semakin dekat ke arahmu. "Mama mengatakan lagu-lagu mereka dicurahkan melalui langit seperti hujan. Kita hanya harus memperhatikan dan mendengarnya."
Kamu menjadi penasaran, kan? Karena kamu memiringkan kepala, menajamkan pendengaran mengarahkan lubang telinga  ke langit. Aku tahu, bintang-bintang terdengar sangat mirip dengan dengung kering jangkrik dan kumbang, ditambah suara latar pikap diesel yang melintas di kejauhan.
"Bukan begitu caranya," kataku sambil tersenyum. "Sini."
Di malam musim panas yang dingin bagiku, jari-jariku terbakar menyentuh sisi kepalamu. Menangkupkan tangan ke telingamu pada sudut yang tepat---32.5, seakurat caramu tanpa busur derajat---dan memintamu menarik napas dalam-dalam.
Dan aku yakin lagu-lagu indah mengalir ke telingamu, bukan? Musik tercurah dari bintang-bintang. Dan kamu bersenandung dalam harmoni yang elegan ketika Polaris dan Vega dan yang lainnya membanjiri malam dengan orkestra langit. Dengan mata terpejam mendengarkan, dan kamu menghirup dalam-dalam, dengan rakus, ketika air terjun surgawi samar-samar menipis menjadi tetesan.
Ketika aku melepaskan pelukan, kamu menatap tercengang pada kedipan bintang-bintang, basah kuyup dalam telaga nada-nada kosmik.
"Kamu mendengarnya! Aku bisa tahu dari matamu."
Kuncir kudamu menyapu tanah, dan topimu terlepas jika saja tanganmu kurang tangkas menahannya di kepalamu. Tawamu meluncur lepas.
Musik meresap ke celah-celah gerigi di tanah kering. Suara jangkrik, kumbang, dan truk pikap diesel menyusul kemudian.
Jari-jarimu yang gugup malah membuat topimu, dan kamu mengelus kuncir kudamu. Aku menatap dalam cahaya berkabut. Bintang-bintang masih terus bernyanyi.
Polaris berkelap-kelip seiring berjalannya waktu. Kamu menunggu, aku menunggu, menunggu musik jatuh ke bumi yang kering. Kamu menghela nafas panjang saat aku melepaskan pelukanmu. Dan kita bergerak menjauh lebih dari sejengkal, terpisah beberapa tahun cahaya saat menatap ke angkasa.
Bintang-bintang tak lagi diam. Rasi bintang baru memecahkan cakrawala. Kamu hanya perlu beberapa saat lagi untuk duduk diam dalam kegelapan sebelum mengambil pointermu. Kita berdua tersenyum saat larik oranye melanjutkan penerbangannya.
"Dan yang di sana itu Sirius. Sebenarnya ada cerita lucu di balik namanya."
Bandung, 4 Juli 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H