Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Dapat Kami Lakukan

24 Juni 2021   19:01 Diperbarui: 24 Juni 2021   19:09 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kapten, aku tak mengerti ..."

"Tenang, Nak. Masuk saja ke rak." Aku menatapnya dengan kengerian saat teman-temanku mengamankan lenganku terlebih dahulu, seperti yang diajarkan kepada kami.

"Korps Sains sangat tertarik denganmu. Tidak ada prajurit lain yang terinfeksi di medan pertempuran yang pernah bertahan selama kamu, tetapi kita telah melihat tanda-tandanya. Kamu mulai menyeberang."

Mulutku menganga tak percaya. Suara mengerang keluar dariku, erangan yang sama yang kami semua dengar setiap hari sejak awal menugasan ini. Sebuah erangan yang bergema dan disahuti oleh mayat-mayat dalam rak di sekitarku.

Aku memohon pada rekan-rekanku, tetapi mereka secara efisien menjalankan tugas dan tidak akan memenuhi permintaanku. Mataku terpejam, aAku tidak ingin melihat mereka lagi.

"Aku bukan salah satunya! Tak mungkin!"

"Maafkan aku, Nak. Jika ini menghiburmu, para ilmuwan berpikir mereka akan mendapatkan banyak informasi darimu. Mereka mengatakan mungkin varian baru. Secara pribadi aku pikir mereka penuh omong kosong. Itu karena kamu sangat peduli dengan kekasihmu sehingga tidak bisa membiarkannya pergi, bahkan setelah dia menggigit tengkukmu. Kamu tidak ingat itu, kan?"

Aku menggelengkan kepala dan sepertinya tidak bisa berhenti. Saat tangan-tangan kuat meraih dan memegang kepalaku, aku mendengar desis kaleng semprot dan merasakan cat basah menempel di dahi.

"Selamat tinggal, Nak, Suatu kehormatan berjuang bersamamu." Kata-kata kapten membuatku putus asa.

Membuka mata dan melihat aku ditempatkan di seberang Valika.

Kapten pergi dan tidak mencoba mengatakan apa-apa lagi. Aku tak yakin bisa berkata apa pun bahkan jika aku ingin. Malah aku berterima kasih padanya diam hati. Dia pria yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun