Jahanara memperlambat laju mobilnya hingga berhenti di bahu jalan tol Purbaleunyi, delapan puluh sembilan kilometer dari Jakarta menuju Bandung.
Sebagai sarjana biologi sekaligus penjual bunga, secara otomatis dia mencatat dalam hati bintik-bintik berwarna di perbukitan yang mengelilinginya. Meskipun saat itu pertengahan Juni, cuacanya sangat cerah. Lobi-lobi alias Flacourtia inermis mekar awal dan berbuah merah meriah. Cempaka putih atau Michelia alba kontras dengan rumput gunung yang hijau pucat. Namun, untuk sekali ini, tumbuhan gagal membangkitkan semangat Jahanara.
Tetap membiarkan lightbar rotary-nya menyala, petugas patroli di belakangnya melangkah keluar dari mobil sambil berbicara ke perangkat genggam. Tidak diragukan lagi, pikir Jahanara murung, dia sedang memeriksa apakah mobilnya dicurigai terlibat dalam perampokan di Pondok Indah.
Entah dari mana, seekor burung gagak dengan ganas mendarat tepat di atas kap mobilnya, mengepak=negapkkan sayap hitamnya begitu dekat sehingga dia bisa melihat tampang marah dan paruh bengkoknya. Oh, tidak! Apakah sedang ada syuting sinetron horor di sekitar sini?
Setidaknya, polisi itu tidak mengenakan kacamata hitam cermin yang biasa dipakai polisi jahat di film. Dia tidak perlu menjelaskan dirinya kepada mata yang tak tampak. Tapi bagaimana dia bisa menjelaskan kecepatannya 120 km per jam? Dia tidak mungkin menyangkalnya. Jahanara tidak tahu berapa lama polisi itu telah mengejarnya sebelum membunyikan sirine dan berseru melalui pengeras suara, "Minggir! Minggir!" dan akhirnya meledak dengan "Wah, wah, wah, Nyonya ... KEBELET PIPIS, YA?"
Bolak-balik mata Jahanara berpindah antara polisi di kaca spionnya dan burung gagak pemarah yang menatapnya melalui kaca depan. Seberapa buruk peristiwa ini akan berlanjut?
Dengan dada tertahan sabuk pengaman, dia menempelkan jidatnya ke roda kemudi dan bergumam, "Ya Tuhan, help me pleeeease!"
***
Malaikat utusan Tuhan yang menyamar sebagai burung gagak belum mengambil keputusan apa yang harus dilakukannya selain menunggu. Dia membuka sayapnya yang lebih lebar dari gagak biasa dan menganalisis situasi berdasarkan data yang masuk.
Di satu sisi, Jahanara adalah wanita tangguh yang menjadi ancaman di jalan raya, tinggal menunggu waktu untuk 'kejadian'. Seratus dua puluh kilometer per jam! Tak termaafkan! Bahkan Tuhan yang Maha Pengampun juga tak suka orang-orang yang melampaui batas, termasuk batas kecepatan di jalan tol.
Di sisi lain, Jahanara baru saja kehilangan pekerjaannya di perusahaan pembibitan tanaman langka, putus dengan pacarnya, pada usia tiga puluh tiga sehingga jam biologisnya berdetak sangat kencang, hampir tidak bisa membayar sewa apartemen bulan depan, dan sedang dalam perjalanan pulang ke rumah orang tuanya. Wajar saja dia ngebut gila-gilaan.