Ragam dengan Gangguan Pencampuran
Kata menerima proses pengaruh-mempengaruhi di antara bahasa yang berdampingan dalam masyarakat Indonesia, walaupun ada batas keleluasaannya.
Selama unsur bahasa daerah Nusantara dan bahasa asing digunakan untuk mengisi kekosongan kosa kata atau untuk memperkaya sinonim dalam kosa kata atau bangun kalimat, maka hal itu kita anggap wajar.
Akan tetapi, jika unsur bahasa mengganggu rasa bahasa atau mengganggu efektivitas penyampaian informasi, maka ragam bahasa yang dicampuri unsur masukan itu serta merta akan tertolak. Hal itu disebut dengan interferensi atau mengalami gangguan pencampuran. Sudah barang tentu, tidak selalu jelas batas pencampuran antara yang mengganggu dan yang tidak.
Misalnya, unsur pungutan yang berasal dari bahasa Jawa dianggap memperkaya bahasa Indonesia, tetapi masuknya unsur pungutan bahasa Inggris bagi sebagian orang dianggap pencemaran terhadap keaslian dan kemurnian bahasa Indonesia. Lafal bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan dapat diterima, tetapi tidak demikian halnya dengan logat kebelanda-belandaan.
PENUTUP
Mosaik ragam bahasa mencerminkan khazanah bahasa kita yang jalin-menjalin. Misalnya, orang dari Medan (logat) lulusan universitas (pendidikan) menulis artikel (sarana) tentang adat perkawinan orang Jawa (bidang) untuk majalah budaya (sikap). Atau, remaja Jakarta (logat) mengobrol (sarana) dengan santai (sikap) tentang pariwisata (bidang).
Pertanyaannya, apakah perlu seseorang menguasai ragam bahasa terpakai dalam bahasanya?
Secara teoritis, jika masyarakat bahasa orang tersebut sifatnya sangat sederhana dan peri kehidupannya serba seragam, tidak mustahil untuk mencapai hal tersebut. Namun, jika masyarakat bahasa sudah bercorak majemuk dan sistem pembagian kerjanya sudah sangat berkembang, hampir mustahil bagi seseorang untuk mengenali atau mahir semua ragam bahasa di lingkungannya secara sempurna. Â
Perlu disadari juga, kumlah ragam bahasa yang kita pahami lebih banyak daripada jumlah ragam bahasa yang kita kuasai. Hal yang sama berlaku juga untuk kosa kata dan sintaksis.
Dalam praktik, kita tidak perlu mempelajari semua ragam bahasa yang ada. Meski semua ragam tersebut termasuk dalam bahasa Indonesia, tetapi tidak semuanya dapat disebut "bahasa Indonesia yang baik dan benar".
Bandung, 19 Juni 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H