Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Merah, Hijau, Biru, Ka!

17 Juni 2021   07:27 Diperbarui: 17 Juni 2021   07:50 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[INTRO]

Wajah di cermin- 
 tertegun. 
 janggut tak tercukur: 
 hampir lima puluh, 
 sendiri. 
 selalu salah- 
 memilih karir, 
 usia tersia-sia.
 panggilan sejati
 baru dimulai.

[KOLONISASI]

issei,

Betapa bahagianya 
 sejarawan dan ilmuwan alam 
 selalu tampak dalam tulisan-tulisan.

Linnaeus meracau dalam bahasa Latin, 
 Lyell dan cinta pada bebatuan, 
 lompatan Wallace dan Darwin 
 kategori, teori 
 buah pengamatan paradigma.

aku akui petir satu fenomena 
 yang tak kupahami, 
 hingga kepala mau pecah. 
 listrik, tentu saja, 
 sesuatu tentang elektron atau ion, 
 positif dan negatif, 
 lahir di awan-gemawan, 
 mengisi tanah, 
 atau naik dan turun 
 sekaligus, saya ingat. 
 siapa tahu: buuum! 
 itu geledek, bukan?

sesuatu harus dilakukan.

[TERRAFORMING]

nissei,

Kita tidak hanya membuang biji di luar sana 
 menunggu dan melihat apa yang akan terjadi. 
 pada setiap spesies tunggal rekayasa
 naluri bertahan dan berkembang tinggi:
 seleksi alam terkendali.

kemarahan dalam diriku, 
 seperti debu bintang purba, 
 semesta runtuh dan ulangan nyala. 
 menyakitkan untuk dirasa. 
 emosi yang dikubur meledak
 padam, datang dan pergi, lagi.
 aku tidak ingin itu, benar-benar tidak. 
 tapi sialan, planet ini-
 mencair di bawah kakiku, 
 disintegrasi.
 digiling jadi bubur 
 dalam liang tambang 
 kartel lintas planet.

hanya satu pertempuran, 
 bekal perang yang sungguh panjang 
 pahit, namun  sungguh menarik.

kita harus bersembunyi 
 sampai kita dapat memotong nadi
 yang mengikat kita dan mereka sama sekali, 
 dan kemudian menepi dalam sunyi
 biarkan bumi gila dan tenggelam
 ini adalah nubuat 
 adalah benar 
 sebagai kebenaran.

dan es di kutub mencair
 di sana menjadi bencana
 di sini berkah untuk semua

[EPILOG TAK BERTUTUP]

sansei,

di tengah gelap malam, 
 sulit untuk mengingat 
 seperti apa hidup sebelum pemberontakan.

interaksi manusia jauh lebih halus dan bervariasi 
 daripada fisika apapun, 
 seperti bidang yang muncul 
 dari matematika khaos rekombinan, 
 hanya lebih rumit, menurutku

nilai hanyalah jenis lain sistem, 
 yang mengatur manusia. 
 ilmu juga serupa saja, 
 meski hubungan keduanya
 sering tak mesra
 berangkat dari fakta yang sama, 
 kita bisa tiba pada nilai yang berbeda.

langit berubah warna. 
 di atas kepala violet yang kaya,
 di bukit-bukit barat sayup-sayup putih, 
 dan bayangan lavender, 
 gradasi lavender dan ungu 
 belum ada nama untuknya.

dari seratus, dua belas bertahan
 karena tiada yang abadi, 
 tidak juga karang, 
 tidak keputus asaan.

yonsei. Ka!

 

Bandung, 11 Maret 2016


*Ka: sebutan orang-orang kecil berwarna merah dalam legenda Mars. Juga ucapan salam antar sesama manusia penghuni Mars.

 

Terinspirasi novel Mars Trilogy (Kim Stanley Robinson)

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun