Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lift

9 Juni 2021   21:24 Diperbarui: 9 Juni 2021   21:39 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dhika berjalan menuju lift setelah menarik napas dalam-dalam.

Roda gigi baja berderit di sekelilingnya. Tidak ada pelarian, tidak ada kendali. Ilusi bahwa manusia memupnyai kendali atas ciptaannya, tetapi, begitu tombol ditekan, keputusannya final.

Dia dikejutkan oleh seorang gadis muda dengan rambut panjang dikuncir. Raut wajahnya menunjukkan tekad membaja.

Keheningan di antara mereka mencekam, lekat, lembab.

Lift berderak menggerutu dan mendaki ke atas. Dwika melihat bayangannya yang kabur di pintu lift. Gadis itu terlihat akrab sampai dia tahu kenapa.

Nena, pikirnya.

Dia tetap sama, maju atau mundur dalam waktu. Untuk sekejap, mereka bertemu pandang dan nyala api kenangan membara.

***

Dhika sedang duduk bersamanya di sebuah kafe di pantai. Pohon pinus melambai dan hujan turun ragu-ragu. Langit kelabu datar. Nena mengamati tarian curah hujan yang mengucur dari atap, menyeruput segelas jus jeruk.

Jarinya yang halus lembut memetik kentang goreng berminyak melintasi bayang-bayang di jendela. "Aku merindukan ibuku di hari-hari seperti ini."

Potongan puzzle yang tidak sesuai dengan nada kekanak-kanakan yang meliuk riang.

"Menjadi tua hanyalah membiasakan diri dengan orang yang pergi." Dhika, mencoba menjadi orang bijak. "Semua orang pada akhirnya berubah menjadi kenangan."

"Kurasa itu benar." Nena menatap ke dasar jus jeruk yang keruh. "Tapi berbicara tentang ibu, Dhika, kurasa kita tidak bisa bersama-sama lagi. Ibumu tidak menginginkanku."

"Apa? Mengapa?"

"Ah, pikirkanlah. Seorang lelaki sepertimu di depan umum dengan perempuan sepertiku?"

"Tapi apa yang akan kamu lakukan?"

"Selalu ada orang yang membutuhkan seseorang sepertiku," kata Nena ceria. "Dan jika kamu membutuhkanku, kamu akan mengerti."

Dia berdiri dan mengambil jaketnya, anti air yang pudar dan apak, dan menyampirkan ke bahunya. Tudungnya menutupi wajah, sampai dia menghilang di balik rinai hujan.

***

Nena balas menatapnya di lift. Mata cokelat yang menyala-nyala. Dhika berkedip.

Dia cantik. Ramping, langsing, pucat. Kulit seputih mutiara, seperti belum pernah tersentuh matahari. Dua puluh dua, dua puluh empat. Tigapuluh.

Manusia hanya menua seperti yang mereka rasakan.

Dia sungguh menarik.

Keheningan menahun retak di antara keduanya, mendesis seperti anak badai.

Dia belum melihatnya sejak perpisahan di kafe. Nena telah menjadi kilat, berkedip dan membutakannya.

Lalu semuanya menjadi gelap.

***

"Aku jatuh cinta padamu." Dhika berbicara dengan Nena saat mereka berjalan keluar dari supermarket. Trolley berderak-derak seperti gerobak rusak, dibebani kantong-kantong  cokelat daur ulang.

Nena menjawab lembut. "Tidak, kamu tidak jatuh cinta padaku."

"Sejak kamu meninggalkanku di kafe itu-"

"Kita berdua sudah berubah, Dwika."

Kata-kata memercik udara, dan saat memudar meninggalkan sunyi. "Cinta tidak menua seperti manusia, Nena," katanya saat mereka tiba di mobilnya. "Cinta punya waktu tersendiri."

Nena tidak balas menatap. Dia membuka bagasi dan perlahan memasukkan tas kertas cokelat ke dalam mobil. Punggungnya bungkuk karena beban. Napasnya tersengal dan ketikanya berkeringat, tetapi Dwika tidak membantunya. Dia menanti jawaban. "Nena?"

Nena menghembuskan napas panjang dan menutup bagasi mobil.

"Kamu bisa mencintaiku, Dwika. Tapi jangan biarkan cinta menghancurkan hidupmu. Aku tidak bisa memberi tahumu apa yang menjadi rasaku."

Dwika menatapnya. Cantik bersinar bermandikan cahaya mentari.

"Kita memiliki kehidupan sendiri-sendiri yang harus kita jalani."

Dia melihat Nena masuk ke dalam mobil, bersiap-siap meninggalkannya sendirian dalam keterasingan. Di area tempat parkir.

Semua sama, tidak ada yang sama.

"Kapan kita akan bertemu lagi?" dia bertanya.

"Kau tahu kapan," jawab wanita itu. "Pulanglah, Dwika."

Dwika tidak ingat di mana rumahnya.

***

Hening di dalam lift. Keheningan yang membuatmu sulit bernapas, mengisi paru-parumu dengan maut. Mata cokelat Nena basah oleh waktu. Kulit kini cokelat cerah, berubah seperti daun di usia paruh baya.

Dwika juga. Selalu sama. Menunggunya. Sudah bertahun-tahun, dan bertahun-tahun.

Apa itu tahun? Dia tidak tahu.

Tahun-tahun dalam hidup lebih dari tahun yang ada di benakmu. Buat beberapa orang, sebaliknya.

***

Jadi mereka berdebat. Nena tak lagi penyabar seperti dulu.

"Kamu harus belajar hidup tanpaku! Jangan sedikit-sedikit meneleponku setiap kali ada masalah."

Dwika menatap mesin cucinya. Air menggenang di dalamnya. Sabun bubuk ditaburkan di genangan air, berputar, menebarkan aroma lavender yang samar.

"Aku tidak tahu harus menelepon siapa lagi." Dia menutup matanya untuk mengendalikan perasaannya. Membukanya untuk melihat Nena membersihkan lantai. Lantai keramik berkilau seperti mata wanita yang dicintainya.

"Tapi kamu bisa hidup sendiri selama ini. Tidak ada alasan untuk meneleponku jika hal seperti ini terjadi. Hubungi aku hanya untuk keadaan darurat." Senyumnya terpaksa.

Dwika mengangguk. "Baik, Nena. Aku mengerti."

Nena itu bersiap untuk pergi, tapi Dwika belum siap untuk ditinggal.

"Nena?"

"Iya?" Berbalik.

"Apakah kamu ingat saat kita pertama kali bertemu?"

"Aku ingat."

"Apakah kamu ingat saat-saat pertemuan kita setelah itu?"

Nena terdiam, alisnya berkerut.

"Aku tidak bisa bilang bahwa aku ingat semuanya." Dia tertawa. "Tapi aku tidak akan pernah bilang aku punya ingatan yang sempurna."

Tidak ada orang yang memiliki ingatan yang sempurna. Jika hidup didasarkan pada ingatan, bagaimana kita bisa yakin bahwa kita ada ketika begitu banyak yang terlupa?

***

Mata cokelat seperti hutan pinus. Nena menatapnya, bijaksana, tua, dan terengah-engah.

Udara bagai lilin yang meleleh karena keheningan.

Lift mendadak berhenti tiba-tiba.

Nena menatapnya dan tersenyum. Jaring laba-laba kehidupan membentang di wajahnya. Keriput tak menutupi kecantikan alami di usia senja.

Nena tetap sama, saat maju atau mundur dalam waktu.

"Apakah kamu siap, Dwika?" Dia mengulurkan tangan. Dengan senang hati, Dwika mengulurkan lengannya untuk digandeng.

Pintu lift terbuka dan cahaya putih sejuk membentang di depan. Mereka berdua melangkah ke ke dalam waktu. Hidup yang ada di dalam pikiran, kehidupan yang mengalir di dalam tubuh, kehidupan yang menyala di dalam hati.

Setiap orang menua secara berbeda.

Bandung, 9 Juni 2021

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun