Cahaya matahari berkabut melalui tirai jaring.
Hari Jumat yang cerah di bulan Juni. Kehangatan musim kemarau menguar di udara. Alarm berbunyi, ucapkan selamat pagi dan terputus.
Hella memasang seulas senyum di wajahnya, senyum yang menyatakan dengan sejelas-jelasnya bahwa dia tidak lagi mencintaiku. Namun dia takkan menemukan jalan keluar. Tidak ada cara untuk membebaskan diri dari rasa berpuas diri.
Aku juga tersenyum, tapi senyumku bukan pernyataan untuk sesuatu yang tertentu. Senyumku adalah kebiasaan, ketidakpedulian dengan sedikit kesopanan di baliknya.
Aku menciumnya dengan lembut di dahi, dan menurut para ahli itu menunjukkan cinta sejati.Â
Bukan untukku. Bagiku, ciuman di pagi hari hanyalah kebiasaan, lebih dari ritual dua puluh tahun yang alami seperti bernapas.
Dia berguling menjauh dan membenamkan kepalanya di gundukan bantal yang bukan pasangan serasi seprei. Tidak diragukan lagi dia akan tetap seperti itu sepanjang pagi. Bukankah dia selalu begitu?
"Kau akan terlambat," katanya ketika aku tak juga keluar dari balik selimut.
Bagaimana mungkin aku bisa terlambat? Aku pergi satu jam lebih awal setiap pagi hanya untuk menjauh darinya.
Tapi, dia benar. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade, aku masih berbaring setelah alarm berbunyi, bertanya-tanya kapan hubungan kami mendingin, kapan dia memutuskan untuk memunggungiku begitu terbangun setiap pagi.
Kapan dia memutuskan bahwa dia tidak mencintaiku lagi? Apakah umur penyebabnya? Apa aku sudah terlalu uzur untuknya?