Tidak penting bagaimana aku mati. Aku mati dengan cara yang bodoh.
Aku makan kue kacang di pesta ulang tahun rekan kerja. Anafilaksis. Alergi. Tragis. Bam! Jatuh, mati.
Yang lebih penting adalah barang-barang yang kutinggalkan.
Setelah pemakamanku, semua barangku disumbangkan atau dibagi-bagikan. Sementara jasadku dimakan cacing, tidak ada yang menginginkan barang bekasku, atau lukisanku, atau membaca buku harianku yang seharusnya kubakar sebelum mati.
Tidak.
Yang mereka inginkan adalah pakaianku.
Jas mafia kulit domba dari Garut yang diberikan Bi Atika di hari ulang tahunku tahun lalu. Sepasang sepatu Nike Air Force 1 Premium yang aku beli di Singapore. Dan, celana jins Gucci Blind for Love, satu-satunya celana jins yang pas di pahaku, memeluk pantatku seperti kemasan plastik tanpa udara.
Aku dan celana jins-ku.Â
Kami menjalani hari-hari yang indah bersama. Kencan pertamaku dengan kakak kelas dua tahun di atas, mendengar berita kematian pengasuhku dari kecil, mondar-mandir penuh kemenangan di antara gedung pencakar langit setelah berhenti dari pekerjaan pertamaku.
Wajar saja aku tidak bisa membiarkan orang lain memasukkan kaki ke dalamnya.
Selama akhir pekan, aku membuat kekacauan di Preloved Shop. Label harga 19 juta? Itu aku. Membenamkannya di bagian bawah keranjang mainan anak? Ide jenius (sampai kemudian celanaku ditemukan). Alarm kebakaran berbunyi tepat saat si pemanjat tebing itu berani menodai jins-ku dengan jari-jarinya yang penuh kapur? Aku. Aku. Aku.