Aku tak ingin mempermalukan diriku  sendiri di depan keluarga Chika, dan jika memang ada metode yang memastikan aku tak melakukannya, maka aku akan mematuhinya dengan senang hati.
"Dan satu lagi," katanya saat kami melewati papan petunjuk menuju bungalo. Aku melirik dengan sudut mataku, jengkel, dan kembali fokus ke jalan. "Ini penting banget, bro," lanjutnya. "Jangan makan terlalu banyak. Pokoknya jangan. Karakter seorang laki-laki diukur dari seberapa banyak dia makan saat diundang."
"Siapa yang mengukur karakter dengan makanan?" Aku mendesah. "Apa judul bukunya?"
"Bro, gue udah pengalaman menghadapi keluarga calon istri. Gue tahu apa yang gue omongin," tegurnya. "Orang yang makan terlalu banyak adalah orang yang rakus. Rakus adalah salah satu pangkal segala kemungkaran, itu ada hadisnya. Gue tahu lu kalau makan banyak, tapi untuk kali ini, kendalikan nafsu makan dan makanlah dengan bertanggung jawab," katanya.
Aku menghela nafas lagi. "Oke," gumamku. "Aku tidak akan makan terlalu banyak. Tapi, seberapa banyak menurutmu terlalu banyak? Dua piring dibandingkan dengan tiga yang biasa?"
"Buset!" serunya, sambil terbahak-bahak seperti kebiasaannya. "Emangnya lu ular kadut?"
"Oke, gimana kalau satu setengah?" tanyaku malu-malu.
Air mata mengalir di pipinya saat dia mencoba berhenti tertawa. "Gini aja,"Â desahnya. "Lu duduk di samping gue dan kalau gue tepuk paha lu, berarti jangan nambah."
"Baiklah," desahku. "Aku berhenti makan begitu pahaku kamu tepuk."
Kami sampai di bungalo dan diterima dengan sepenuh hati. Jenderal adalah lelaki yang tangguh dan dingin saat mengenakan seragam, tetapi di sini, dia benar-benar ceria dan hangat. Ibu Chika menyambut kami seakan-akan aku sudah menjadi menantunya. Abang Chika memeluk kami seakan-akan kami adalah saudara yang sudah lama hilang, dan putrinya-keponakan Chika-memberi kami pelukan dan kecupan di pipi kami. Hatiku diliputi sukacita. Benar-benar rasanya seperti di rumah sendiri. Padahal rumahku tak sampai sepersepuluhnya.
Setelah tidur siang, mandi air panas dan mengobrol sebentar, tibalah waktunya berbuka. Meja makan besar itu menampung 10 orang dengan dua kursi tersisa. Oh, aku belum menyebutkan bahwa Chika memiliki lima saudara kandung, tiga laki-laki dan dua perempuan. Menu yang disajikan adalah nasi uduk, ayam bakar, pisang goreng, dan rujak. Di perjalanan tadi, kami berhenti hanya sekali untuk makan dan sekarang kami berdua sangat lapar.