Kamu mengembus lingkaran cincin asap di tato lenganku, tapi aku tak keberatan.
Karena senyummu seperti pelangi hujan di bulan Mei, wajahmu memancarkan cahaya rembulan purnama merah darah. Dan karena seseorang yang jauh di langit ke tujuh yang seindah dan sempurna sepertimu telah memberikan cintanya kepada manusia jalanan kepala batu sepertiku.
Menatap ke dalam cermin seprai kusut dan kenangan indah tentang kaki telanjang yang meninggalkan jejak di pantai ketika kita menyisir menggali kerang berenda di pasir putih hangat. Atau jalan-jalan kedinginan di bawah langit bertabur bintang setelah gerimis petang; kuma-kuma lembayung bersemi awal musim setelah membelah diri menjadi sepuluh anak subang berbatasan dengan bahu jalan basah lembap.
Lehermu yang jenjang panjang feminin, disiram aroma kebun mawar puncak bukit, memenuhi lubang hidungku dengan kebahagiaan. Kelembutan dari belaian mesra, ciuman lembut, sapuan hangat nafasmu seperti kopi klotok menyepi seperempat jam di saput kabut dini hari, membuatku bergidik sekali lagi.
Saat dingin malam menyentuh titik terendah, pijar cintamu laksana derak api unggun menghangatkan jiwaku. Dan di luar, jauh di tudung gunung salju abadi, bayangmu bersinar seperti kunang-kunang ketika rambutmu yang sewarna jagung tertiup angin menari-nari disambut nyanyian suaramu selembut uap beludru.
Sepi di lereng bukit tertutup cadas, dedaunan jati meranggas berhamburan. Beberapa masih hijau, beberapa cokelat rapuh. Menguraikan kisah hidup, cinta.
Hidupmu terlalu singkat, tetapi lukisan penuh warna sungai bianglala. Namun kan selalu kuingat---lingkaran cincin asap, cinta, dan kamu.
Bandung, 23 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H