Saat umurku tujuh belas tahun, aku menukar gaun dan rok dengan celemek dan celana jins hitam tanpa saku untuk membantu membiayai kuliahku.Â
Sejak kelas lima SD, musim liburanku selalu bareng Jovanka sahabatku, tetapi tahun itu dia dengan riasan wajah magang di kantor ber-AC sementara aku menjadi bajak laut versi perempuan, dengan kemeja slim fit tanpa lengan dan topi kelasi yang menjadikan kami umpan buaya darat.Â
Peraturan seharusnya melindungi kami: tidak boleh lebih dari satu kancing kemeja atas dan bawah yang terbuka. Namun seorang pengendara Harley Davidson menekuk lengannya ke arahku, membuat tato perempuan telanjang bergoyang. "Burger mana yang dagingnya paling enak?" Aku jawab, "Maaf, saya tidak tahu. Saya vegetarian."
***
Aku, Jovanka dan beberapa gadis merayakan kelulusan SMA dengan VW Camat milik Sony, abangnya. Memesan burger, kentang goreng, dan minuman bersoda di lantatur-layanan tanpa turun, tapi saat itu masih disebut drive tru-dan memarkir mobil di area parkir. Ada cowok yang parkir di sebelah kami.Â
Jovanka dan aku menyelinap keluar dari mobil untuk menekan tombol neon box papan nama Sultan Burger dan kembali ke VW Camat Sony. Sembari mencelupkan kentang goreng ke dalam saus sambal dan mengunyah dengan berisik, kami menyaksikan karyawan Sultan Burger keluar menyalakan neon box. Tampangnya asam.Â
Ketika Ibu melarangku keluar malam, aku bilang sebulan lagi saya akan kuliah di Yogya dan Ibu tidak akan pernah tahu aku pulang jam berapa. Bahunya bergerak-gerak naik turun menahan emosi. "Boleh jadi begitu, Nona. Tapi untuk saat ini kau tinggal di bawah atapku. Ikuti aturanku!" Ibu belum menikah lagi, masih menjadi orang tua tunggal. Sayapnya masih patah.
***
Saat kami berjalan dalam kegelapan menuju ke Holysteak untuk melihat seorang cowok yang menjadi pramusaji di sana, pesan grup WA Carribean Burger masuk.Â
Ketika menyelinap di antara meja kasir dan mesin kopi, manajer shift malam meremas bagian belakang seorang pelayan bernama Ricca yang pernah bekerja di setiap waralaba makanan cepat saji yang ada di kota. Ricca meninju wajahnya sampai lelaki itu jatuh semaput.Â
Sedikit menyesal karena aku tak menyaksikannya secara langsung. Aku memberi tahu teman-teman saat kami melewati pintu bergambar sapi yang berkedip-kedip dengan lampu biru. Seorang lelaki berdiri di dalam kegelapan, membuka mantelnya, memamerkan benda miliknya yang mirip bratwust mini. Dia tersenyum.Â
Kami berjalan lebih cepat, tapi karena kami gadis yang baik, kami balas tersenyum. Cowok yang ingin kami jumpai di Holysteak sudah tidak lagi bekerja di sana. Kami lupa ke kamar kecil, atau begitulah pengakuan kami, jadi kami berjongkok di balik belukar dan buang air kecil bersama. Kami buang air kecil kapan saja di mana saja selama musim liburan.
***
Akhir pekan, kami melarikan diri ke Anyer untuk membiarkan matahari dan pasir mengelupas membakar kulit. Anak-anak peselancar berputar-putar seperti burung gagak, terpikat oleh anting-anting perak kami, kulit kami yang cokelat, dan rokok kretek. Kami berbohong dan mengatakan kami akan menghadiri pesta  Mereka, padahal kami tidak ingin.Â
Ketika Jovanka menunjukkan lesung pipi dan logat Sunda palsu, dua pria dalam mobil VW Combi membelikan kami bir kaleng. Perlu dua jam untuk kembali ke yempat tenda kami di Pasir Putih Sirih, tetapi Jovanka mengemudi VW Camat Sony melaju dengan kecepatan di atas seratus kilometer per jam untuk menghemat waktu, jadi kami bisa lebih cepat meletakkan kaleng Heineken kosong kami di atas meja piknik, dan tertawa terbahak-bahak ketika kami menjatuhkannya dengan lemparan batu.Â
Tengah malam aku terbangun di tenda yang terbang ditiup angin laut, berpikir-apa makna sepi? Aku bertanya kepada bintang-bintang, apakah kebebasan itu?-dan kemudian berbaring beradu punggung dengan Jovanka dan tidur.
***
Siang hari, aku menyerahkan pesanan lantatur kepada seorang cowok dalam Fiat Uno. Dia tidak memakai celana dalam, bolanya menonjol dari bawah celana pencek nilon yang longgar.Â
Malam hari, aku dan teman-teman merokok di tribun Istora Senayan, sambil mengembus gelembung sabun, menanti Sigur Ros keluar dan melambai, kemilau bermandikan cahaya, kulit pucat lambang kebebasan. Rambut kami kusut masai lengket beminyak.Â
Seorang gadis gotik yang pernah kukenal terlihat tua. Kulit kepalanya yang kusam terlihat melalui rambutnya yang diwarnai hitam, dan pacarnya bergigi hitam berjalan terhuyung-huyung.Â
Betisku bengkak karena berdiri terlalu lama di Carribean Burger. Menunggu konser dimulai, setiap gelembung sabun meletus mengepulkan asap, seperti kejutan murahan pesulap. Aku ingin berpikir cowok di lantarun tadi tidak bermaksud untuk meggodaku. Aku lebih suka membayangkan dia kehabisan celana dalam bersih.
***
Bulan Juli, puting beliung berputar-putar menderu menyapu tempat parkir Carribean Burger. Televisi menyiarkan hujan es terjadi di Tegal. Berapa jauh dari Tegal ke Yogya? Jalanan kosong dan api penggorengan padam.Â
Para manajer rapat di hotel. Aku duduk di tangga yang licin berminyak bersama Missael, cowok dari Timur yang juga hanya bekerja part time di Carribean Burger untuk semusim sebelum kuliah dimulai. Tidak seperti Hakim yang membentang sajadahnya di ruangan tempat kami menyendok eskrim, tidak juga Jacinta yang sedang melayani pembeli, Double Pirate Burger dengan rumput laut.Â
Missael membawa buku notes kecil di saku celemek dan mencatat judul buku yang kubaca. Aku mengingat senyumnya yang putih. Kami berdua akan pergi setelah kontrak habis ke suatu tempat, kuliah, dan saling tertawa berbagi rencana satu sama lain, meredam ketakutan kami.
***
Malam terakhir, Jovanka dan aku mengucapkan salam perpisahan di dalam VW Kodok Sony di depan pintu pagar. Jendela kamar tidur ibuku menjadi gelap. Perihnya, saya tidak lagi ingat apa yang dia ketahui tentangku. Jovanka dan aku menangis sehingga air mataku menetes di wajahnya, dan air matanya terasa asin di bibirku.Â
Aku memegang bahunya, dan kami tertawa di sela-sela tangisan. Kami saling menyayangi. Mungkin, ketika aku membayangkan esok menuju Yogya di atas kereta api ekonomi dan Jovanka tinggi di awan dalam penerbangan ke Frankfurt. Kami bekerja selama liburan untuk menjadi manusia bebas.
***
(Untuk pembaca yang cukup puas dengan akhir paragraf di atas, silakan berhenti membaca. Namun, jika Anda jenis pembaca yang belum puas kalau belum mendapatkan akhir bahagia, aku punya epilog yang sesuai).
Jovanka gagal menyelesaikan kuliahnya di Goethe University karena keburu menikah dengan pria asli Jerman. Seorang mualaf yang memilih untuk belajar di Kairo. Sementara suaminya menimba ilmu di Al Azhar, Jovanka kursus kuliner Timur Tengah. Kemudian mereka menetap di Charleroi, Belgia Suaminya menggambar komik religi dalam bahasa Jerman, Belanda, dan Prancis dan Jovanka membuka rumah makan halal. Dia sering menanyakan resep masakan Nusantara ke ibuku. Dia dan suaminya merencanakan untuk liburan musim panas di Tanah Air tahun lalu, tapi terhalang pandemi.
Tahun pertamaku di Yogya, aku bekerja di Carribean Burger Gejayan sambil mengikuti bimbingan belajar. Tahun kedua diterima di Jurusan Sastra Jepang. Mendapat beasiswa magister di Musashino Art University. Ini tahun ketigaku di Tokyo. Belum punya kekasih, meski ibu selalu mendesakku untuk segera menikah. Biarpun menyebalkan, setiap hari aku melakukan video call dengannya. Oh ya, sudah tiga tahun aku menjadi vegetarian.
Bandung, 14 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H