"Baik tuan, aku tunduk di bawah perintahmu. Apa yang tuan inginkan dariku?" Ha. Aku berbohong.
"Aku memohon kepadamu," katanya, sambil menaburkan kemenyan ke dalam bakhor dan memutar-mutar kerisnya seperti mengiris asap yang mengepul, "Nyi Blorong yang Agung: beri aku kuasa untuk menguasai prajurit arwahmu!"
Dukun bodoh-umumnya begitu-tidak tahu apa yang dia hadapi. Atau siapa, rupanya.
"Nyi Blorong?" Aku bertanya. "Aku bukan dia. Mengapa kamu bisa mengira begitu?"
"Ini sijil kuasamu!"
Dia mengambil gulungan lontar dengan aksara yang rumit dan menunjukkannya ke wajahku. Sepertinya asli, tapi bukan milikku. Tetapi jika dia menggunakan sijil yang salah dan tetap memanggilku, maka ....
"Bukan itu," kataku. "Kamu pasti memanggilku secara tidak sengaja. Angka sandi mana yang kamu gunakan?"
"Sandi Nyi Blorong, tentu saja." Dia menunjukkan deretan angka di balik lontar. Ya ampun! Ternyata bukan sijil kuasa asli. Lagi-lagi tiruan yang nyaris sempurna. Ada dua angka 6. Bagaimana mungkin ....
Aku menggelengkan kepalaku. "Kamu tahu bagaimana cara kerjanya, kan? Angka numerik yang dikombinasikan dengan sijil?"
"Tentu ...."
Tentu saja tidak. Satu lagi idiot yang belajar merapal mantra dari internet. Aku menunjuk garis batas segitiga pemanggilan yang dia gambar di sekitarku. Tidak berpengaruh padaku, sebetulnya. Segitiga itu dimaksudkan untuk mengurung Nyi-siapa-namanya itu, bukan aku. Aku bisa pergi kapana saja aku mau, tapi mumpung lagi di sini ....