"Dihukum berapa tahun penjara?"
"Dia menderita kehilangan ingatan dan tidak dapat diadili. Bertahun-tahun di rumah sakit jiwa. Kemudian Rumah Sakit tutup karena kekurangan anggaran."
"Makanya dia jadi pengemis?"
"Dia tidak pernah berbicara sepatah kata pun sejak hari itu. Terus saja meniup suling memainkan lagu-lagu tanpa nada, tanpa berpikir parena memang kepalanya kosong. Yah, dalam arti tertentu memang tidak ada. Cobalah dan menatap matanya dan kamu tidak mendapatkan reaksi apa pun."
Aku melakukannya. Mata itu kosong sedalam alam semesta dan sekaligus kuburan dangkal. Jiwa yang malang! Aku mengambil selembar uang dengan nilai nominal terbesar dari dompet dan memasukkannya ke dalam sakunya.
"Cuma selembar kertas," kataku pada Kunrad yang menatap padaku. Â Aku bilang ke Kunrad kalau harus buru-buru ke stasiun dan berjanji jumpa lagi minggu depan.
Aku menelepon istriku, mengatakan aku akan segera pulang-segera-dan aku mengajaknya kencan ke restoran dua puluh empat jam favorit kami. Jadi, bersiaplah.
Kadang-kadang- ketika aku merasa jenuh di tengah minggu-aku berpikir tentang Bratasena dan tentang betapa kita begitu sering mengukur kebahagiaan kita dengan kemalangan orang lain.
Bandung, 11 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H