Aku tidak akan pernah melupakan lelaki gelandangan di Masjid Al Ikhlas, masjid kampungku.
Bermula pada hari-hariku sebagai santri pesantren kilat semasa Ramadan, ketika berusia sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Tidak, sembilan, karena aku belum dikhitan.
Saat itu kami belajar beberapa hadis tentang doa-doa mustajab dan apa artinya. Ustaz Tajul yang mengajar.
Aku melihatnya pada hari itu.
Pasti dia telah meminta izin untuk beristirahat dan mungkin untuk tidur pada malam hari di masjid. Ustaz Zaki membiarkannya duduk bersandar di dinding belakang sementara kami merapal doa-doa di saf pertama depan mihrab.
Hari itu juga aku berbicara dengannya. Kulakukan karena tantangan dari Neza, gadis tercantik di sekolah-dengan seragam putih merah dan seringai menggoda, telah menyandang gelar primadona pada usia sembilan tahun-yang menantangku untuk berbicara dengan orang asing. Â Tetapi, jika bukan karena itu, mungkin aku takkan menjadi diriku yang sekarang. Aku punya kebiasaan berada di tempat yang salah pada waktu yang kurang tepat. Seorang anak yang mengembara dan disesatkan oleh orang dewasa.
Aku menyelinap meninggalkan kelompok kami dan berjingkat mendekatinya. Gelandangan itu duduk bersila dengan punggung menempel tembok. Matanya tertutup, benar-benar kotor dan bau busuk keringat dan matahari. Tapak kakinya pecah-pecah kapalan dan janggutnya compang-camping berantakan.
Aku berdiri sekitar dua meter dan mengawasinya, setengah ketakutan, setengah penasaran, sampai dia membuka matanya dan menatapku.
Setelah beberapa saat, aku bertanya dengan suara kecil, "Apakah kamu sedang berdoa, Pak?"
Dia terkekeh. Suara yang terdengar terlalu kasar dan membahana untuk masjid kampung yang kecil. Apalagi untuk kehidupan religiusku yang masih murni.
"Berdoa? Tidak, Nak. Aku tidak tahu bagaimana caranya berdoa."