Di rumah kami, barang-barang menghilang setiap hari.
Biasanya terjadi malam hari, ketika kami duduk di lincak reyot di pekarangan belakang rumah, menghadap padang ilalang meninggi yang membentang beberapa hektar di hadapan kami. Hanya aku dan adikku, Maruli, dan bau makan malam yang menyengat di udara di sekeliling kami. Inang akan segera memanggil untuk makan malam, tetapi kami harus menyelesaikan permainan yang kami mainkan setiap malam.
Aturan mainnya sangat sederhana, ambil sesuatu dan lemparkan sejauh mungkin ke semak-semak. Mengamati lintasan proyektil dan setelahnya menentukan pemenangnya. Itulah satu-satunya aturan yang berlaku. Sampai malam ini.
Barang-barang yang kami lempar biasanya adalah barang-barang yang tidak akan kami lihat lagi, seperti tongkat kayu yang digunakan amang untuk mengajar kami, atau bungkus rokok yang disembunyikan inang di laci pakaian dalamnya.
Inilah alasan mengapa di rumah kami banyak barang hilang sepanjang waktu.
Saat kami berdiri, mengerahkan segenap tenaga yang kami punya, kurasa Maruli terbawa suasana. Aku tidak melihat saat dia melemparkan benda di tangannya, tetapi segera mendongak ke atas untuk mencatat lintasan parabola benda dan menyatakan diriku sebagai pemenang--aku selalu menang karena Maruli memiliki lengan yang lemah dan tidak bisa melempar dengan baik--dan aku perhatikan bahwa yang dilemparnya adalah bola kristal salju milikku yang berkilau di bawah cahaya bulan. Hadiah dari amang, dari saat dia biasa bepergian sebelum kehilangan pekerjaan dan mulai minum serta memukuliku dan inang.Â
Sebelum Maruli dapat berbicara dan berjalan.
"Kenapa kau membuangnya?" Kemarahan mendidih dalam suaraku. Panas terasa di tenggorokan.
"Tapi kau bilang aku bisa melempar apa saja?" Kebingungan di wajahnya memberitahuku dia tidak mengerti mengapa aku marah, karena memang tidak ada aturannya dalam permainan kami.
 "Pergi dan ambil sekarang," kataku padanya sambil mengarahkan jari telunjuk ke arah ilalang tinggi.
Dia berjalan perlahan menuju rerumputan dan segera aku saja tidak melihatnya lagi. Baju kaos merah dengan celana jins biru cerah ditelan hijau dan coklat rumput tinggi yang bergoyang ditiup angin.
"Cok, ada lubang!" dia memulai. "Semua yang pernah kita lempar ada di sini. Tengoklah." Kata-katanya penuh dengan kegembiraan.
Aku ragu sejenak, tapi segera bergerak ke arah suaranya yang kini berubah menjadi buni cekikian.
Aku sampai di tempat uang kuyakini sebagai asal datang suaranya, sebuah tempat terbuka. Tidak ada rumput yang tumbuh di situ. Aku mencari-cari karena terdengar inang memanggil kami untuk makan malam.
Aku menyeru nama adikku, dan terdengar jawaban samar yang berasal dari lubang kecil di tanah.
Bandung, 29 April 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H