Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Filosofi Gen-Z

17 Desember 2020   14:46 Diperbarui: 17 Desember 2020   14:48 908
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai!

Pengalaman aneh apa yang pernah kamu alami?

Aku ... hampir tak pernah mengalami hal aneh. Seharusnya umur segini sudah jalan-jalan ke luar negeri sampai Gunung Kilimanjaro atau Alaska, atau setidak-tidaknya pernah bertemu hantu dan sebangsa, senegara dan sebahasa.

Tentu saja aku pernah bertemu kuntilanak. Tapi kuntilanak bukan hantu, kan? Mana ada hantu doyan sate ayam?

Tapi aku rasa apa yang akan aku ceritakan termasuk pengalaman yang tidak biasa, meski tidak terlalu aneh.

Begini ceritanya ...

***

Aku sedang duduk sendirian di salah satu kafe yang sepi karena ternyata kopi yang disajikan asam dan bau gosong.

Dua orang yang duduk di seberang selasar sepertinya tidak cocok duduk bersama. Jangankan sebagai sepasang kekasih, untuk sebagai teman biasa juga tak pantas.

Tapi untuk dapat menulis cerita ini yang perlu aku lakukan hanyalah mendengarkan obrolan mereka. Umur mereka kira-kira sama, sekitar 22 tahun. Generasi-Z.

Keduanya saling berbagi sebatang rokok sambil minum secangkir kopi yang pasti rasanya asam dan bau gosong. Aku rasa itulah kesamaan yang mereka miliki.

Di hadapan mereka terdapat dua piring kosong, mungkin tadinya berisi pisang coklat atau kentang goreng. Piring kosong itu mereka dorong ke tepi meja.

Perlu diketahui, kafe ini selalu ramai pada Sabtu pagi oleh mereka yang berjaga sepanjang malam, menolak tidur takut akan mimpi buruk. Atau juga hanya karena malas pulang ke tempat indekos setelah kelayapan semalaman tanpa berhasil mendapatkan pasangan untuk mengarungi malam dan akhirnya menjelang matahari terbit bertemu dengan seseorang di pintu masuk kafe, menyapa atau disapa dengan kalimat 'Hei, apakah kamu ingin sarapan setangkup roti coklat dan secangkir kopi yang rasanya asam dan berbau gosong?'

Dari tampangnya, aku mengira si cowok seorang pengangguran dari pinggiran yang sedang kebingungan mencari kerja. Si gadis mungkin mahasisiwi dari tanah seberang yang sedang kehabisan uang karena orang tua telat mengirim uang bulanan. Zaman sekarang korupsi aja susah-diuber-uber KPK. Apa lagi jujur!

Mereka berdua berbicara dengan logat daerah masing-masing yang kental. Aku sempat salah mengira si cewek orang bule atau setidaknya blasteran karena rambutnya yang oranye wortel dan ngomong inggris seperti orang kumur-kumur. Tapi setelah aku dengarkan dengan seksama, dia bukan bicara dalam bahasa Inggris, hanya saja logatnya aneh karena behelnya yang melebihi ukuran rahangnya.

Yang cowok bicara bahasa Indonesia dengan dialek lokal sekental oli bekas truk diesel keluaran tahun jebot. Badannya kurus dan rambutnya gondrong diikat ekor kuda. Mungkin itu yang menyebabkan dia menganggur hingga kini.

Si cewek berkata, "Akhu takh punya alasan untuk hidup lebih lama dari tiga puluh tahun, khawan. Mungkhin pada ulang tahun khetigapuluh akhu akhan gantung diri di puncakh gedung kantor walikhota. Macam mana pendapat khau?"

Dia menarik kuat-kuat rokoknya lalu menjentikkan abunya ke dalam piring bekas kentang goreng---atau roti coklat, menyodorkan filter pantat rokok pada cowok ceking itu yang langsung menyedot batang yang panjangnya tinggal tiga sentimeter itu perlahan-lahan. Asap rokok menguar meliuk-liuk naik ke plafon yang bercak oleh tempias hujan semalam.

"Tidak, saya ingin hidup lebih lama dari itu sebelum saya meninggal."

"Mau mati umur berapa khau, khalau begitu?"

"Saya tidak tahu---tua, sekolot nini di kampung."

Asap rokok perlahan keluar sedikit demi sedikit dari bibir mereka pertanda mereka menahannya lama di dalam paru-paru sebelum meniupkannya ke udara yang belum tercemar pagi itu.

Cukup aneh, bukan?

Sumber ilustrasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun