Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Tudung Merah dan Serigala

6 November 2020   22:08 Diperbarui: 6 November 2020   22:19 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Si Tudung Merah dan Serigala

"Nenek?" Rosa mengetuk pintu kayu yang lapuk.

Tidak ada jawaban dari dalam. Tapi Nenek sudah tua. Dia sering tertidur ketika Rosa datang membawa makanan.

Daun pintu kayu berderit terbuka saat disentuhnya. Kening Rosa berkerut. Nenek tinggal sendirian di tengah hutan yang paling rimbun. Nenek selalu mengunci pintu dari dalam.

Dengan gelisah Rosa masuk, memegang keranjang di depannya sebagai perisai. Sesosok tubuh tergeletak di lantai. Pakaian compang-camping dan dagingnya tercabik-cabik. Bau darah dan jeroan menyesakkan pernapasan. Noda merah meresap ke lantai papan.

"Nenek!" Rosa menangis, melawan rasa mual yang mendesak di tenggorokan. Dia beringsut mengitari mayat dan bergegas ke satu-satunya pintu lain di rumah. Pintu kamar Nenek.

Sekali dorong pintu itu terbuka menampakkan tempat tidur empat tiang yang besar. Di bawah selimut duduk makhluk besar dengan moncong panjang dan mata berkilau. Telinganya tersembunyi di balik topi tidur Nenek yang lembut. Mulutnya terbuka, dan Rossa melihat gigi menguning dengan daging merah muda menempel di sela-sela. Bulu di sekitar mulut kaku dan kusut.

Seekor serigala.

"Rosa," serigala berkata. Suara tenang menyejukkan.

"Apa yang terjadi? Orang itu..."

Bulu gelap memudar perlahan. Lidah merah panjang menjulur melintas gigi. "Itu dia, ya? Orang yang mengikutimu ke hutan kemarin."

Gemetar, Rosa mengangguk.

Wajah serigala menciut. Rambut putih semakin panjang mengganti bulu sekasar sabut kelapa. Serigala mengangkat satu kakinya. Cakar menyusut, meleleh menjadi jari-jari lembut dengan urat menonjol. Rossa melintasi ruangan dan meraih tangannya.

Seperti biasa, perubahan wajah adalah metamorfosa yang terakhir. Saat moncongnya memendek dan matanya semakin bulat, Rosa mengelus lengan kurus keriput itu dengan tangannya yang lain. Senyuman kecil tersungging di bibirnya. "Nenek, gigi Nenek besar sekali."

"Biar Nenek bisa melindungimu dari lelaki jahat, sayangku."

Mata Nenek berkedip, dan ekspresinya hampir sepenuhnya manusia lagi.

"Sekarang, bantu nenek menyingkirkannya. Untung kamu hari ini memakai tudung merah."

Cakung, 6 November 2020

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun