Keluar dari pusat perbelanjaan sambil memegang cangkir kertas kopi masing-masing, mereka duduk di tangga batu. Bahu saling bersandar.
Lelaki itu yang memulai pembicaraan.
"Kita bukan satu sekolah, bukan juga berasal dari kota yang sama. Kamu bukan cewek di sebelah rumahku dibesarkan atau adik dari sahabatku."
"Terus? Kita memang hanya pernah bertemu di sini. Saya melihat Akang empat atau lima kali dan saya pikir kita mungkin jodoh."
"Ya, sangat mungkin. Tapi kita memulainya dengan buruk. Kita berdua tahu sebelum melangkah lebih jauh, bisa saja kita sedang rapuh. Mungkin kamu sedang patah hati dan aku baru saja kehilangan pekerjaan, kan?"
"Jadi, Akang menyesal kita bertemu?"
"Tidak juga. Jika sekarang kita tidak duduk di sini, mungkin kita akan berpapasan di trotoar tanpa saling memandang. Sekarang bagaimana?"
"Ya, sekarang bagaimana, Bang?"
"Mana aku tahu? Kita mungkin saja tidak pernah bertemu sama sekali."
"Boleh jadi. Kita masih tak saling kenal kalau Akang cuma diam saja. Sesuatu yang tidak pantas Akang lakukan setelah mata Akang terus menatap saya."
"Kamu seharusnya tidak mempermainkan cowok setelah dia mencurahkan isi hatinya. Kamu tega sekali, tidak cocok untuk cewek sepertimu. "
"Jadi menurut Akang, butuh keberanian untuk memberi tahu seseorang bahwa dia sakit jiwa atau seberapa besar kesalahan yang telah dia buat dan seharusnya dia merasa bersalah karena semua hal buruk yang telah dia lakukan pada orang yang tidak seharusnya diperlakukan buruk?"
"Benar, memang butuh keberanian. Aku takkan bisa melakukannya dan aku menduga kamu juga tak bisa."
"Jadi, dari sini kita ke mana, Kang?"
"Sebentar. Minumlah kopimu sementara aku memikirkan ke mana tujuan kita selanjutnya."
Bandung, 22 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H