Ketika akhirnya mereka terhuyung-huyung pergi menyusul rombongan pengunjuk rasa, Marini menggantungkan senapan berburu peninggalan mertuanya ke bahu.
"Jadi suamiku yang memulai unjuk rasa sialan ini, ya?"
Mereka berhenti, berbalik, menatap senapannya tanpa emosi.
"Ketika ... dia bangkit, kami menyadari ... bahwa kami ... juga bisa .... Siapapun bisa. "
"Dia yang memberimu harapan?"
Mayat hidup kedua, yang kepalanya dirubung lalat, tertawa keras.
Politikus menjawab, "Tadinya ... kami pikir ... kami sudah selesai ... dengan dunia..., karena ... tidak ada ... yang mengharapkan ... kami kembali. Namun dunia ... terus berputar ... melupakan kami... padahal kami ... tak pernah ... lupa. Suami Anda lah ... yang memberikan contoh ... pada kami ... agar tidak ... semudah itu ... dilupakan ...."
Marini berdiri mematung lama setelah mereka semua pergi, menggenggam laras senapan yang terasa dingin, sedingin malam yang turun perlahan.
Bandung, 18 Juni 2020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H