Malam hari selalu ada kontes dansa chacha, karaoke atau standup komedi.
Lelaki Perancis berjanggut mengenakan celana berburu bertengkar dengan seorang Jerman yang mengenakan seragam angkatan laut. Perempuan Argentina mabuk memamerkan payudaranya yang kendur.
Seorang lelaki Austalia terhuyung-huyung dan ambruk di atas meja bar, terlalu banyak menenggak alkohol. Jatuhnya ke atas puluhan botol tequila murahan sehingga pecah berserakan, menyebabkan band kapal yang hanya membawakan lagu-lagu Beatles mengakhiri pertunjukan mereka dan mengirim para penumpang kapal ke kabin mereka lebih awal malam itu.
Jacques menyuruhku untuk membereskan semuanya. Kain pel tak berguna mengatasi pecahan kaca. Gesekannya akan menggores lantai kayu dan dia akan mengomel panjang pendek memberiku kuliah tentang profesionalisme.
Maka, dini hari aku berlutut di lantai dansa memunguti serpihan beling dengan tangan dan memasukkannya ke keranjang sampah logam yang berkilau di bawah bola lampu disko yang masih berputar dan bersinar.
Di tengah pecahan gelas itu tergeletak sebentuk cincin mungil. Aku mengarahkannya ke cahaya lampu dan menerawang, lalu menghela nafas. CZ, Zirkonium kubik.
Andai saja benda itu berlian asli, aku akan menjualnya nanti saat bersandar di Bali. Aku memasukkan cincin itu ke dalam saku celana dan meneruskan mengumpulkan pecahan botol ke dalam keranjang sampah.
Jariku tak sengaja dua kali terluka. Beling-beling itu steril, licin berselaput tequila.
Sepuluh menit kemudian seorang perempuan terhuyung-huyung masuk ke bar. Terdapat bercak noda kering bekas muntah pada gaunnya.
"Maaf," katanya. "Maaf mengganggu."
Aku tetap memunguti beling dan memasukkan ke keranjang sampah. Kata-kata yang mengalir dari mulutnya kalimat campuran antara penyesalan dan permintaan maaf.
"Apakah Anda berbicara bahasa Inggris? Maaf. Saya kehilangan cincin saya di sini. Bisakah Anda membantu saya menemukannya? Maafkan saya. Tolong. Maaf."
"No, I haven't seen any rings yet," jawabku.
"Oh," katanya. "Saya akan membantu Anda mencarinya."
Dia membungkuk di sampingku dan mulai mencari di antara serpihan kaca. Sesekali, dengan hati-hati mengambil keping yang yang besar dan memasukkan ke keranjang sampah. Matanya meneliti permukaan lantai dengan hati-hati.
"Cincin kawin saya," katanya. "Cincin berlian warisan keluarga suami saya. Saya tidak tahu bagaimana menjelaskan kehilangan ini pada Ted."
Aku mengangguk sambal terus memungut kepingan-kepingan kaca. Dia tersandung dan hampir saja menggulingkan keranjang sampah. Akhirnya dia berhenti mencari dan malah menonton aku bekerja. Cincin itu terasa ringan di sakuku.
Setelah beberapa saat dia bosan dan pergi. Keranjang sampah berdenting nyaring ketika aku melemparkan potongan beling terakhir. Aku mengunci bar dan berjalan ke luar menuju geladak atas.
Angin mengusap wajahku lembut. Tidak banyak penumpang di geladak selain beberapa manula yang sedang bersenam dan seorang lelaki tertidur di kursi kolam dengan majalah tertangkup menutupi wajahnya.
Aku mengambil cincin itu dari sakuku lalu melemparkannya ke haribaan laut. Kilau pantulan cahaya mentari pagi, memercik permukaan air, lalu hilang tenggelam tak berbekas.
Di belakangku, gelombang air laut bergejolak dibelah baling-baling kapal membentang hingga batas cakrawala.
Bandung, 16 Juni 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI