Di sebuah negeri tanpa nama karena tidak tercantum di Google Maps, hidup seorang Kakek pembuat seruling. Â Dia tinggal di sebuah rumah kecil di pinggir jalan menuju hutan.
Membuat seruling merupakan keinginan dan tujuan hidupnya. Setiap kali dia membuat seruling, alat musik itu diberikannya pada anak laki-laki atau perempuan yang lewat di depan rumahnya.
Kakek itu tidak mempunyai cita-cita atau mimpi selain menjadi pembuat seruling. Rumahnya adalah sebuah rumah kecil di pinggir jalan menuju hutan. Hutan lebat di belakang rumahnya penuh dengan pohon rindang dan rumpun bambu. Anak laki-laki dan perempuan di mana-mana memainkan serulingnya.
Bambu di hutan semakin langka, karena bukan hanya dia saja yang menggunakannya. Bambu juga dipakai untuk membuat layang-layang raksasa, keranjang penumpang balon udara, dan sebagai bahan bakar dapur rumah tangga dan pengrajin keramik kaca. Namun, hutan yang menipis masih memiliki pohon-pohon yang rindang dan teduh dan merupakan tempat yang baik untuk berjalan-jalan.
Setiap pagi Kakek duduk di kursi goyang di beranda dan mendengarkan burung-burung berkicau. Ketika mentari mulai mendaki kaki langit, burung-burung bersiul dan mengirimkan pesan kepada teman-teman mereka. Kakek mendengarkan setiap suara yang keluar dari hutan. Dia mendengar setiap kicauan dan tidak pernah ada nyanyian burung yang tak didengarnya.
Setelah mendengarkan burung bernyanyi, dia akan menentukan lagu yang paling cocok untuknya hari itu. Kemudian dia berangkat ke hutan untuk menemukan bambu untuk dipotong yang suaranya mampu mengabadikan nyanyian itu.
Meski bambu hutan semakin jarang, tapi Kakek dikaruniai keajaiban oleh peri hutan. Dia selalu mendapatkan potongan bambu yang sesuai dengan keinginannya, tak pernah sekali pun dia gagal menemukan bambu yang tepat. Bisa berupa bambu betung yang yang menjulang di tepi jurang, bambu apus di sisi sungai, bambu ater yang kokoh di antara semak perdu, atau bambu ampel yang menempel di dinding ngarai.
Tidak hanya resonansi suaranya yang tepat, namun bentuknya juga menarik hati. Bahkan, pernah dia membuat seruling dari bambu liuk tiga yang meniru bunyi prenjak. Dan dia selalu memberikan seruling yang dibuatnya untuk anak-anak laki atau perempuan yang melintas di depan rumahnya.
Oh, Kakek begitu menyukai lagu-lagu yang disiulkan burung-burung, sampai dia bisa tahu hari apa dan tanggal berapa berikut tahunnya hanya berdasarkan suara burung. Burung-burung datang dan pergi dari tempat jauh dan dekat. Beberapa akan terbang ke sisi lain dunia dan menghilang selama berbulan-bulan. Beberapa burung merah kuning kecil menetap sepanjang tahun, menyanyikan lagu-lagunya. Dia mencintai semua burung, baik yang tinggal maupun yang bepergian ke ujung dunia.
Suatu hari, ketika dia sedang tidur siang, seorang pencuri yang lewat mencuri pisau sang Kakek.
Betapa sedihnya dia. Betapa sedihnya anak-anak laki dan perempuan ketika tidak ada lagi seruling yang dibagikan dengan gratis. Seseorang di kota menyampaikan kabar bahwa burung-burung telah berhenti bernyanyi, hutan kini adalah tempat yang gelap suram dan sunyi yang menyeramkan bahkan untuk kesatria yang paling pemberani. Daun-daun di hutan berguguran. Dan kemudian musim berganti, hujan turun setiap hari.
Setiap hari, Kakek mendengarkan suara derit bambu yang dibawa angin, membuatnya semakin bersedih.
Suatu pagi, hujan berhenti. Cuaca cerah dan langit biru indah.
Sebilah pisau baru tergeletak di atas meja beranda. Kakek tidak tahu siapa yang meninggalkannya di sana. Namun tiba-tiba dia mendengar suara nyanyian burung dari hutan.
Dia pergi ke hutan dan menemukan sepotong bambu persis seperti yang dia inginkan. Seruling yang dibuatnya dari potongan bambu tersebut menangkap suara burung yang baru pertama kali didengarnya itu dengan sempurna, lalu Kakek menggantung seruling di pagar agar diambil oleh anak laki-laki atau perempuan yang melintas di depan rumahnya.
Namun semua anak laki-laki dan perempuan sudah tak tertarik lagi dengan seruling, karena mereka lebih menyukai permainan baru yang dimainkan lewat gawai layar sentuh.
Hari berikutnya Kakek mendengar kicauan burung yang lain lagi, menemukan bambu yang tepat, membuat seruling yang serasi darinya dan menggantungnya di pagar. Tapi tidak ada yang mengambilnya. Dia sedih, tetapi tetap saja membuat seruling. Membuat seruling merupakan keinginan dan tujuan hidupnya, maka dia terus saja melakukannya.
Burung-burung terus memanggil dan dia terus membuat seruling dan dia menggantungnya di pagar meski tidak ada yang mengambilnya.
Hari demi hari berlalu. Setiap hari dia mendengar kicauan burung-burung dan membuat serulingnya dan menggantungnya untuk anak laki-laki dan perempuan yang melintas di depan rumahnya. Malam hari dia bersedih. Namun dia tahu dia tidak akan pernah berhenti membuat seruling. Nyanyian merdu burung-burung diabadikannya dalam seruling-serulingnya. Dia berharap, suatu hari seseorang akan datang untuk memainkan lagu-lagu yang indah dari seruling-serulingnya yang tergantung di pagar.
Sudah ratusan seruling berayun-ayun di pagar rumahnya, tidak ada satu pun yang diambil. Tidak ada anak laki-laki atau perempuan yang mencoba membunyikannya dengan meniup udara melalui bibirnya atau menutup lubang kecil dengan jari-jarinya. Tidak seorang pun anak laki-laki atau perempuan yang mencoba.
DI penghujung musim hujan, malam lembap dingin. Kakek jatuh sakit dan berbaring di tempat tidurnya. Beritanya sampai ke kota. Walikota dan beberapa warga datang menjenguk.
Kakek menyampaikan kepada mereka bahwa meskipun waktunya tak lama lagi, kehidupan yang dijalaninya baik-baik saja. Dia tidak punya penyesalan selain berharap bahwa anak laki-laki dan perempuan akan datang untuk mengambil serulingnya dari pagar. Namun, jika mereka tidak melakukannya, dia senang sudah membuat seruling-seruling itu.
Dan kemudian, angin mulai berhembus dari hutan. Angin bertiup cepat menyusuri pagar rumah Kakek. Tiba-tiba terdengar bunyi-bunyian yang luar biasa merdu yang pernah mereka dengar, nada-nada ajaib yang tak terbayangkan sebelumnya, musik yang paling indah untuk dikenang sampai akhir masa.
Dan Kakek yang membuat seruling sepanjang hidupnya itu tersenyum bahagia. Dia menghembuskan napas terakhir dengan lega sebelum menutup mata untuk selama-lamanya.
Bandung, 14 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H