***
Akulah permaisuri sekaligus wayang kulit. Kembali dari alam kubur dan menari di bentang layar.
Kulitmu menghangatkan tanganku.
"Aku merindukannya," kamu berbisik. "Aku sangat merindukannya."
Dan aku memainkan dirimu di layar yang bersinar dengan cahaya lembut. Aku membawa kisah bayanganmu: yang terbaik yang kamu sendiri tak tahu tentangnya.
Aku bukan tokoh, aku adalah pertunjukan. Tulang rusukku menjadi jembatan, jari-jariku menjadi awan mendung yang mengancam turun hujan.
Wajahku adalah wajahnya, beralih rupa senyum lembut. Jari kakiku menjadi angsa di kolam yang kalian beri umpan, dan meskipun tidak melihatnya, kamu merasakan sentuhan bahunya menempel di pundakmu.
Kamu mengira pohon-pohon, jembatan, angsa dan awan hal yang nyata, bayang-bayang yang keluar dari ingatanmu. Kamu pikir aku dia, kekasihmu, saat kita menari berdasarkan kenangan.
Kamu menyentuh tanganku yang bengkok, memasukkan kenangan baru ke dalamnya. Aku terkesiap saat aku terpotong-potong menjadi siluet. Menjadi dia, menjadi pekarangan, menjadi apartemen, menjadi perjalanan yang tidak pernah berhasil, menjadi bayangan, menjadi saat-saat terakhir yang memilukan.
Aku menjadi mimpi bukan kenangan. Meraihmu untuk terakhir kalinya dan kamu memberi tahuku semua hal yang ingin kamu katakan, semua hal yang telah kamu pelajari dan lihat dan lakukan sejak saat itu. Dan aku bangga padamu, seperti yang kamu inginkan. Dan kamu berbicara dengan bayanganku seolah-olah kata-kata bisa menghentikan kematian, seakan-akan hujan akan menghapus air mata, seperti cerita kita tidak akan pernah berakhir.
Kamu tak menampak bentukku yang terpecah-pecah, menjadi gumpalan jaringan yang ditata ulang dan berkerut. Tulang-tulangku mengecil dan tumbuh untuk memberi substansi pada mimpimu, kulit tertarik dan menjadi anyaman renda. Mataku yang hanya sebelah adalah kolam tenang yang mengawasimu, mata kekasihmu.