Setiap kali wayang kulit dipentaskan, akan ada yang mengucapkan selamat tinggal.
Ada juga yang berkata, tolong, jangan pergi. Orang lain berujar, andai saja. Dan ada juga yang bilang, aku ingat, dan tertawa.
Setiap pertunjukan wayang kulit adalah kenangan.
Aku hanyalah wayang kulit tua. Tidak dapat lagi mengubah apa yang pernah kulakukan.
Namun aku masih membutuhkanmu. Tanpa keinginanmu untuk memberitahuku siapa aku, aku tersesat dan bingung. Wayang muda bisa menjadi apa yang diinginkan: utuh, dinamis, manusiawi. Aku tidak memiliki semua itu.
Meski aku beruntung, banyak dari jenisku yang tak mampu bertahan, dan tidak banyak dalang yang mau menerima punakawan tua yang yang telah sepenuhnya berubah ujud menjadi wayang kulit.
Kamu datang ke pertunjukan pada pukul 4 pagi, saat tembang megatruh. Lingkungan sanggar membuat kamu takut: terlalu banyak mimpi yang berantakan, seniman mabuk, dan warung-warung kopi oplosan dua puluh empat jam.
Kamu telah berjalan berjam-jam, memintal pikiran seperti dalang yang hanya tahu cara mengulang, dan di sinilah tungkaimu membawamu.
Kamu kangen dia. Kamu terbunuh oleh lubang yang dibuatnya.
Kamu mati rasa. Kamu adalah paku keling rasa sakit yang tajam yang terlalu akrab untuk dirasa. Dipisahkan oleh membran setipis kulit, kamu datang kepadaku dan mengingatnya.
***