"Mau minum teh?" dai bertanya,dan  beringsut keluar dari kamar tidur.
Dapurnya bersih. Dapurnya selalu bersih. Segala sesuatu berada pada tempatnya. Dia suka keteraturan.
Aku duduk di meja dan memperhatikan kantung teh celup di cangkir porselen.
"Kuenya dimakan," katanya, melambaikan tangannya di atas stoples di atas meja. Aku ingat stoples itu oleh-oleh dariku dulu, sepulang dari tugas di luar negeri. Pegangannya keemasan seperti gagang pintu dan gambar buah anggur yang dilukis di sekeliling moncongnya. Dia mencoba menghitung jumlah buah itu sekali ketika pertama kali mendapatkan morfin. Dia sedih karena dia tidak ingat dari mana dia memulai.
Saat itu aku katakan kepadanya semuanya ada dua puluh tujuh dan membawanya ke tempat tidur.
"Kamu pasti akan baik-baik saja, sayang," katanya, mengisi air panas ke dalam cangkir di depanku dan menyorong stoples kue ke tengah. Aku mengaduk gula dalam teh. Dia dulu suka minum teh manis. Kapan dia mulai berhenti melakukan itu? Apakah sejak didiagnosis stadium empat?
"Kamu suka gaun itu?" tanyanya tiba-tiba, sambil menggigit sekerat nastar. "Apa Itu tidak terlalu menyolok?"
"Tidak," jawabku.
Dia menatapku tajam.
"Kamu ingat, kan, baju yang mana itu?"
Aku mengangguk. Dia tampak puas.