Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paru-paru

15 Juni 2019   13:51 Diperbarui: 15 Juni 2019   14:42 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia masih punya sebatang rokok yang diambilnya dari saku di balik lencana sekolah.

Rokok itu diambil dari jas papanya pagi tadi. Dengan ibu jari dan telunjuknya, dia menarik rokok tersebut seolah-olah dia menarik sepucuk sapu tangan sutra dari topi tukang sulap, dan saya mundur sedikit.

"Tinggal sebatang ini," katanya, "tapi aku tak keberatan berbagi."

"Kamu memang luar biasa," kata saya.

Gumpalan asap mengawang lembut. Kemudian dia menyodorkannya. Saya gagal menahan batuk. Dia seorang ahli, bisa menghembuskan asap lewat lubang hidung dengan bibir terkatup.

Mobil-mobil melaju di jalan raya. Seluruh dunia bergegas terburu-buru, tapi kami memanfaat waktu yang ada.

Saya biarkan dia menghabiskannya. Lalu dia melempar puntung ke semak-semak.

"Waktu yang sama besok?" dia bertanya.

"Sip," jawab saya sumbang.

Selama tiga hari berturut-turut, kami bertemu di belukar antara sekolah dan jalan raya, dan dia mengajari saya segala cara yang dia tahu tentang menghembuskan asap rokok.

Saat pelajaran biologi, dia duduk di depan saya. Kami belajar tentang paru-paru. Guru mengatakan bahwa bagian tubuh kita itu penuh dengan balon kecil yang diisi dengan udara saat kita bernapas. Aku bertanya-tanya, jangan-jangan paru-paru saya gagal mengambil udara sehingga napas saya sesak setiap kali saya memandangnya.

Dia berbalik dan menunjukkan gambar paru-paru yang rusak oleh tar dan nikotin dari buku dan berbisik, "Apakah kamu pikir kita akan mati?"

Saya menemuinya sepulang sekolah. Dia ada di sana.

 Saya bisa mendengarnya tertawa terbahak-bahak. Lalu saya melihatnya.

"Dia mengisapnya seperti ini," katanya, lalu mengatupkan mulutnya dan meniup asap keluar, membiarkan bibirnya terbuka. Lalu dia pura-pura batuk terbungkuk-bungkuk. Temannya ikut membungkuk dan mereka berdua tertawa.

Dia sedang memunggungi saya saat saya melintas, jadi yang bisa saya lihat hanyalah rambutnya yang seperti tirai hitam jatuh berderai di punggungnya dan asap menggantung lembut di udara.

Seperti mobil-mobil di jalan raya, saya bergegas lewat.

TAMAT

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun