Malam gelap seperti biasa, tapi malam ini bukan malam yang biasa untuk Hine.
Dia telah melukis bintang yang terakhir. Seperti biasa, bangga menyaksikan karya-karyanya bersinar berkilauan di permadani hitam yang menutup seluruh ruang. Malam itu sunyi senyap, seperti biasa, tetapi nalurinya merasakan sesuatu yang lain sedang terjadi.
Setelah yakin bahwa tugasnya telah selesai, Hine bersiap untuk pulang, tidur sampai malam besok dan kembali bekerja.
Dia membereskan bejana-bejana berisi cat bintang dan kuasnya, ketika sudut matanya menangkap cahaya berkelip-kelip aneh di kejauhan searah jalan pulang. Dia berhenti sejenak, pandangan mencoba menembus kegelapan  untuk melihat apakah dia bisa menemukannya lagi cahaya aneh tersebut, tetapi tidak terjadi apa-apa.
Hine bergumam pada dirinya sendiri dan mengambil peralatannya, siap untuk menyusuri jalan pulang di tepi galaksi Bimasakti.
Ketika semakin dekat ke tempat dia melihat cahaya yang berkelap-kelip tadi, dia mendengar suara berderak yang aneh.
Ada sesuatu di sana!Â
Dia berhenti dan mendengarkan sejenak. Suara itu berhenti. Dia maju satu langkah ke depan dan mendengar suara gemerisik lain disusul cahaya kemilau. Sesuatu jatuh dari atas dan menimpanya!
Hine terhuyung-huyung tepai di tepi galaksi, kehilangan keseimbangannya kemudian terdengar teriakannya bergema panjang dan nyaring. Â Dia berteriak karena jatuh dari tepi galaksi, meluncur ke dasar mangkuk langit yang luas menuju pusatnya yang gelap gulita. Teriakannya menggapai permukaan galaksi, tetapi tidak ada seorang pun yang mendengar.
Dia terus jatuh menembus nebula awan gas keperakan, memantulkan bintang-bintang.
Aku akan berakhir di lubang hitam raksasa, pikirnya ketika dia melihat ke bawah.
Lubang besar yang menganga tampak hidup, berdenyut-denyut  bagai bernapas mengisap apapun di sekitarnya, dan menjadi semakin besar untuk setiap tarikan napasnya.
Hine mencapai tepi lubang hitam dan tangannya melambai berusaha mati-matian untuk menggapai sesuatu. Jari-jarinya berhasil mencengkeram bintang kerdil di bagian paling bawah tepi galaksi, di garis batas pertemuan materi gelap dengan energi hitam.
Tergantung di tepi galaksi, kuas bintangnya terayun-ayun di sabuk pinggangnya. Hine menatap ke kegelapan hampa di bawah kakinya. Ketika melihat ke bawah, dia melihat gumpalan cat yang tergantung di kuasnya mengembang menjadi gumpalan besar di ujung sikat kuas sebelum akhirnya berkilau dan berkedip-kedip saat jatuh ke dalam lubang hitam.
Cengkeramannya semakin melemah karena tenaganya sudah hamir habis, Kukunya mencabik kulit bintang kerdil yang digenggamnya, menimbulkan bunyi berderak-derak.
Jari-jarinya satu-satu tergelincir saat cengkeramannya mengendur dan bintang itu kembali berderak. Sebagian dari bintang itu remuk dan jatuh ke lubang hitam di bawah.
Lubang hitam itu berdenyut mengambil napas dalam-dalam.
Akhirnya Hine kehilangan cengkeramannya, tak mampu mencegah dirinya agar tak jatuh ke dalam kegelapan. Dia mencoba berteriak tetapi sia-sia saja. Gelombang suaranya ditelan lubang hitam. Tidak ada lagi yang bisa diraihnya. Ia harus menyerah dan membiarkan dirinya jatuh.
Saat meluncur turun, dia melihat sesuatu di bawahnya, mendekat dengan kecepatan tinggi.
Apakah itu?
Itu terlihat seperti ...
Mungkinkah?Â
Itu... dirinya!
Terlambat, pikirnya. Tabrakan tak terhindarkan.
Dia hanya bisa diam berbaring tengkurap menyaksikan versi lain dari dirinya terhuyung-huyung di tepi galaksi ke dalam mangkuk besar cahaya yang berkilauan di bawahnya.
Beruntung dia mendarat di tepi galaksi, pikirnya.Â
Hine bergumam pada dirinya sendiri ketika mendengar suara berderak. Dia membereskan peralatannya dan bersiap-siap untuk  pulang ketika lagi-lagi terdengar bunyi gemeretak yang aneh. Mwndadak sesuatu yang berkilau muncul dari langit.
Hine mendongak.
Oh tidak! pikirnya.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H