Energi untuk mendukung itu semua berlimpah ruah. Tenaga surya, angin, air, dan gravitasi mendukung kota-kota menjadi mandiri, negara-negara yang berkelanjutan, dan dunia yang tidur lelap.
Siapa yang tahu sudah berapa lama semua itu terjadi? Siapa yang tahu berapa lama waktu berlalu sementara umat manusia secara kolektif terlelap memimpikan impian mereka yang diatur secara khusus?
Siapa yang tahu?
Namun, terlepas dari dunia impian, realita berjalan lebih lamban dari mimpi. Bumi masih memiliki kehidupan lain. Tahun berganti abad, abad menjadi milenia bahkan eon. Kehidupan yang bergejolak tanpa campur tangan manusia itu diam-diam berevolusi menjadi kecerdasan. Kecerdasan yang berkembang di sekitar infrastruktur makhluk-makhluk aneh yang tidur di kota-kota mereka yang tenang dan terlupakan, dengan perangkat dan penjaga bisu dari logam dan plastik yang bergerak di sekitar mereka.
Sebelum Pemimpi terakhir meninggal dunia, Para Pemimpi dan mimpi-mimpi mereka menjadi bagian mitos kehidupan makhluk yang cerdas ini. Mimpi=mimpi yang menjadi agama dan kepercayaan spesies baru, dan pada akhirnya, manusia pemimpi - yang sudah lama punah - tidak lebih dari goresan di atas prasasti batu dan referensi yang melegenda dalam buku-buku tua yang berdebu ketika spesies ini mulai melanglang antariksa menuju bintang-bintang.
Spesies ini tak tahu bahwa pencapaian mereka selanjutnya merupakan gema mimpi para penduduk asli bumi yang sekarang benar-benar telah terlupakan. Tidak banyak yang dapat mereka pahami, karena alam telah belajar.
Spesies ini berevolusi untuk tidur sesedikit mungkin dan tidak bermimpi sama sekali.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H