Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengutil

29 Mei 2019   11:24 Diperbarui: 29 Mei 2019   11:28 1761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.shutterstock.com 


Perempuan itu lihai.

Dalam satu gerakan cepat, keju itu berpindah dari rak masuk ke dalam tas ransel di punggung anaknya. Aku terlambat mengalihkan pandangan ketika dia melirik ke arahku. Dia tahu aku tahu, tetapi dia tetap memeriksa kaleng-kaleng mentega impor sebelum meletakkan margarine dalam plastik yang murah ke dalam troli.

Akulah yang kebingungan tak tahu harus melakukan apa.

Dia membungkuk untuk membisikkan sesuatu ke telinga anaknya. Mereka berdua tertawa dan saat dia berdiri tegak, dia tersenyum kepadaku.

Aku seperti melihat diriku di cermin di masa lalu: wajah lelah, baju lusuh, tanpa cincin kawin.

Tersenyum dan berbalik, itu bukan urusanku.

Tapi ketika aku berhenti untuk memeriksa barang-barang yang diobral karena tanggal kedaluwarsanya sudah dekat, aku ingat pernah menonton bincang-bincang di televisi tentang seharusnya harga makanan di pasar swalayan bisa lebih murah jika mereka tidak harus menanggung barang yang hilang dicuri pengutil.

Aku melihatnya lagi di lorong alat-alat kebersihan. Hanya saja kali ini aku berhati-hati untuk tidak membiarkan dia tahu bahwa aku sedang mengamatinya. Dia mengambil sampo dan sabun mahal ...

Aku terkejut ketika petugas keamanan menyapa. Aku tak tahu kalau Supri menyelinap di belakangku. Kami berdua tertawa.

Aku mengenal Supri bertahun-tahun lamanya.

Dia bertanya bagaimana keadaanku dan bercerita bahwa bos tidak mengizinkannya mudik lebaran, padahal dia sudah membeli tiket kereta. Di belakangnya, perempuan itu bergabung dengan salah satu antrean di kasir.

Aku mencolek lengan Supri.

"Jangan menoleh sekarang, tapi kamu tahu perempuan yang memakai sweater abu-abu dan anaknya itu?"

Dia tampak ketakutan ketika Supri menghentikannya, tapi itu salahnya sendiri. Seharusnya dia jangan terlalu serakah.

Selama perjalanan pulang, aku memeriksa lagi isi saku rokku. Dua batang Toblerone yang cocok untuk teman minum kopi. Aku akan menikmati setiap gigitannya, karena tidak tahu kapan aku akan mendapatkannya lagi.

Aku sudah terlalu tua untuk permainan ini.

TAMAT

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun