Perempuan itu lihai.
Dalam satu gerakan cepat, keju itu berpindah dari rak masuk ke dalam tas ransel di punggung anaknya. Aku terlambat mengalihkan pandangan ketika dia melirik ke arahku. Dia tahu aku tahu, tetapi dia tetap memeriksa kaleng-kaleng mentega impor sebelum meletakkan margarine dalam plastik yang murah ke dalam troli.
Akulah yang kebingungan tak tahu harus melakukan apa.
Dia membungkuk untuk membisikkan sesuatu ke telinga anaknya. Mereka berdua tertawa dan saat dia berdiri tegak, dia tersenyum kepadaku.
Aku seperti melihat diriku di cermin di masa lalu: wajah lelah, baju lusuh, tanpa cincin kawin.
Tersenyum dan berbalik, itu bukan urusanku.
Tapi ketika aku berhenti untuk memeriksa barang-barang yang diobral karena tanggal kedaluwarsanya sudah dekat, aku ingat pernah menonton bincang-bincang di televisi tentang seharusnya harga makanan di pasar swalayan bisa lebih murah jika mereka tidak harus menanggung barang yang hilang dicuri pengutil.
Aku melihatnya lagi di lorong alat-alat kebersihan. Hanya saja kali ini aku berhati-hati untuk tidak membiarkan dia tahu bahwa aku sedang mengamatinya. Dia mengambil sampo dan sabun mahal ...
Aku terkejut ketika petugas keamanan menyapa. Aku tak tahu kalau Supri menyelinap di belakangku. Kami berdua tertawa.
Aku mengenal Supri bertahun-tahun lamanya.
Dia bertanya bagaimana keadaanku dan bercerita bahwa bos tidak mengizinkannya mudik lebaran, padahal dia sudah membeli tiket kereta. Di belakangnya, perempuan itu bergabung dengan salah satu antrean di kasir.