Umumnya manusia menjalani waktu satu arah secara tetap tanpa kenal lelah.
Memang terkadang relativitas khusus mempengaruhi kita, misalnya: saat bersama kekasih waktu terasa begitu cepat berlalu. Atau sebaliknya, saat menunggu istri belanja  lima menit bagai seminggu.
Lebih jarang lagi melakukan perjalanan ke masa lalu, misalnya: putrimu merayakan ulang tahunnya  dan terlontar tujuh belas tahun ke masa lampau saat kamu menggendongnya  di rumah sakit.
Namun, sebagian besar kita terjebak di masa kini, terus melaju dalam dimensi keempat dan terus melaju sampai hari kita mati --- kecuali  jika ada yang mampu menghentikan waktu. Serius.
Maktu yang kamu gunakan untuk membaca kalimat di atas baru saja meninggalkanmu. Semua maju untuk semua orang yang kamu tinggalkan, atau lebih tepatnya, semua orang yang terus bergerak tanpamu.
Perjalanan pertama kakek menjelajah waktu dimulai dengan hal-hal kecil yang sepele.
Terkadang dia makan siang ketika semua orang makan malam. Atau, dia tinggal di hari Minggu sementara yang lainnya sampai pada hari Senin. Kadang-kadang, dia berada di 2010, atau bahkan 1987, sementara semua orang berada di malam 31 Desember 2018 meluncur ke 1 Januari 2014.
Kakek melangkah mundur, keluar dari rel dan berjalan ke arah yang tidak bisa diikuti orang lain.
Tidak seperti kakek, aku sama seperti orang lain. Aku menumpang kereta pelarian yang menjadi hidupku dan berharap bahwa takkan terjatuh. Jika kutajamkan pandangan, aku bisa meliha samar-samar keadaan esok, minggu depan atau bulan berikutnya. Namun begitu mataku berkedip, Setahun berlalu tanpa kusadari. Aku tidak bisa mengikutinya, tapi juga tak pernah teringgal. Setiap kali aku mencapai tempat yang membuatku berpikir, "Cukup, cukup. Aku akan turun di sini!", tetap saja pikiran dan tubuhku terbawa kereta waktu.
Untuk kakek, hal-hal yang baru saja dia laukan mulai terurai bagai benang lepas dari jahitan. Saat ia bergerak mundur, ingatan lepas dari raga dan melayang. Dia tak hanya kembali --- dia tak tampak, tak merasakan dan tidak punya kesadaran. Dia meninggalkan waktu.
Aku pikir punya sedikit bakatnya. Meski aku tak bisa bergerak mundur seperti kakek, tetapi aku bisa melihat hal-hal yang sama jika aku menoleh ke belakang. Aku bisa melihatnya di wisuda sarjanaku, bangga dengan cucu pertamanya. Aku dapat melihatnya membawaku ke bandara agar aku dapat melihat pesawat terbang pertama kali dari dekat. Aku bisa melihat kami membungkuk di atas mesin bubut, mengenakan sarung tangan khususuntuk melindungi jari-jariku dari panas piringan gerinda. Aku bisa melihat kandang kelinci yang kami bangun bersama, kunci dengan kode pertama yang kumiliki. Aku dapat melihat diriku duduk di kursi kantornya yang dilapisi kulit coklat susu, mengagumi ketebalan buku-buku di sekelilingku dan bertanya-tanya apakah aku pernah membaca buku sebanyak yang ada di ruangan itu.
Hanya saja, ketika kakek bergerak mundur, hal-hal itu lenyap  bersamanya. Dan karena aku tidak bisa berhenti bergerak maju seperti dia tidak bisa berhenti bergerak mundur, setiap langkah yang dia lakukan menghapus sedikit waktu kami, sedikit hidup yang kami miliki bersama. Setiap hari, kami bergerak sedikit lebih cepat, lebih jauh, dari titik tengah terakhir di antara kami. Setiap hari, aku semakin dekat dengan menjadi satu-satunya yang masih dapat melihat apa yang ada di belakang kami semua.
Lebaran tahun lalu, aku dan kakek untuk pertama kalinya duduk bersama untuk waktu yang lama. Mungkin terlalu lama, tapi saat aku mengingatnya sekarang, saat itu kehidupanku sedang di titik terendah. Ketika dia membuka pintu dan melihatku, dia tersenyum. Senyum yang lebar, hangat, dan bahagia.
"Aku ingat kamu!" kakek berseru. "Aku ingat kamu ketika kamu masih sebesar ini!"
Dia menunjuk pinggangnya, kira-kira saat aku berusia sepuluh tahun.
Aku memeluk kakek dan mencium pipinya dan menyadari bahwa meskipun dia tidak bisa melihat tempat-tempat di antara sepuluh tahun dan tiga puluh dua, tidak apa-apa. Dia melihat foto kelulusanku dan menikmati hari itu. Dia menatap rumah kelinci kami yang kosong dan berjalan menyusuri hari itu. Dia memandang wajahku, wajahku tiga puluh dua tahun, dan berjalan kembali sampai yang dia lihat hanyalah diriku yang berumur sepuluh tahun. Tapi jangan salah, semua baik-baik saja. Meskipun sebenarnya kami hampir kehabisan waktu di masa lalu, dia masih punya sesuatu untuk dibagikan denganku. Memang bukan semuanya, dan tentu saja, sedikit demi sedikit semakin berkurang bersama hari-hari.
Namun dia masih mengenal ku dan aku masih mengenalnya. Itulah yang terbaik.
Kakek adalah penjelajah waktu, dan suatu hari -- mungkin lebih cepat dari yang kuinginkan -- dia akan mundur meninggalkanku melampaui apa yang dapat kulihat. Setelah itu, aku akan menjadi satu-satunya yang melihat semuanya, semua momen dan kenangan itu. Dia akan kembali sampai dia tidak berbagi waktunya denganku sama sekali, dan kemudian aku tidak akan bisa melihatnya juga.
Dia akan kembali ke masa lampau yang belum pernah kuketahui.
Suatu hari, kakek akan meninggalkan waktu yang tak lagi bersisa secara nyata. Untuk Selamanya.
Apa yang akan yang terjadi sebelum waktu itu tiba?
Aku berharap kakek menikmati petualangannya. Aku yakin dia sedang melakukan itu.
Bandung, 19 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H