"Ada dua lomba saat itu, satu dikerjakan di rumah dn satu lagi di lokasi lomba. Dua-duanya aku juara satu," katanya datar.
"Tapi beberapa hari kemudian ada pelatihan menggambar yang pesertanya orang dewasa. Aku diminta jadi pengajar," tawanya renyah.
Dia juga bercerita tentang persahabatannya dengan para penulis yang masih berjaya hingga zaman sekarang.
"Tapi meski sahabat, ada yang permintaannya untuk membuat ilustrasi cover novelnya kutolak. Idealismenya sudah luntur," katanya sambil tersenyum jenaka. Yang dia maksud adalah salah satu penulis idolaku. Tapi itu dulu.
"Aku ini lelaki panggilan, sesuai order. Kadang di bayar, kadang enggak." Ia diminta mengisi acara di pentas membicarakan seni grafis, sebentar lagi. Sesuai tema acara "Kolaborasi Generasi", Mas Wedha mewakili angkatan sebelum generasi milenial.
Seseorang dari panitia datang,
Sebentar lagi pak Wedha akan tampil, mungkin sebaiknya bincang-bincang dulu dengan moderator, katanya.
Dia menghabiskan kopinya. Kopi Joko Pinurbo sendirian di atas meja, masih penuh. Entah kemana pula maestro puisi itu.
Aku ikut bangun dan menemani mas Wedha menuju resto yang menjadi ruang diskusi moderator dan narasumber. Di tengah jalan, mas Thamrin Sonata, penerbit buku-bukuku yang juga merupakan sahabat mas Wedha mencegat kami.
Sambil berdiri, terjadi lagi sharing nostalgia. Mungkin hanya semenit, tak lebih. Namun wajah panitia ditekuk seratus tujuh puluh sembilan derajat tanda tak sabar menunggu Mas Wedha mengikuti langkahnya.
Dasar maestro, mereka malah meminta sang panitia yang kelihatan lelah lahir batin untuk memotret kami bertiga. Sore itu, kotak warna-warni menguasai darat dan langit Jakarta.