Obrolan gayeng mengalir. Nostalgia tentang majalah yang kini banyak kolaps, para pengarang zaman eighties yang kini menempuh jalan masing-masing, hingga situasi sastra dan nasib seniman kini. Dan sampailah kepada soalan yang menjadi tanda tanya seniman dan yang mengaku seniman seperti saya:
"Mas Wedha kok menggratiskan WWAP, padahal sudah capek-capek mengurus hak cipta?" tanya Joko Pinurbo mendahului saya.
"Aku mengurus hak cipta supaya karyaku diakui. Dan supaya karyaku berguna, maka aku menggratiskannya. Toh, biarpun aku gratiskan, mobilku terus bertambah."
Jangkrik opo jangkrik?
Aktivis perempuan teman Joko Pinurbo juga undur diri hendak mengikuti talk show tante Titik Puspa. Mungkin. Tapi aku rasa dia tak tahan dengan asap rokok mas Wedha.
Dari sudut mata, aku menangkap kehadiran Kang Pepih Nugraha, pendiri Kompasiana sedang dirubung banyak orang tak jauh dari tempat kami duduk.
"Sebentar," kataku kepada kedua maestro itu.
Bergegas aku menemui Kang Pepih.
"Kang, ada Joko Pinurbo dan Wedha," bisikku sambil menarik tangannya menjauh dari kerumunan yang melongo melihat kemajenunanku.
Pembicaraan mereka bertiga lagi-lagi tak jauh dari nostalgia masa lalu namun tetap aktual untuk zaman now. Bisa dimaklumi, karena mereka maestro. Peranku di sini sebagai figuran numpang lewat dalam filem perang kemerdekaan: muncul 3 detik sebagai mayat yang mati tertelungkup dengan lubang peluru menganga di punggung.