Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Bukan tentang Pro dan Kontra, tapi Tentang Cita-cita

9 Maret 2017   15:27 Diperbarui: 9 Maret 2017   16:11 2533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar yang tak singkat

Sebagai seorang yang berasal dari etnis Minang yang matrilineal, perempuan menjadi sentral kehidupanku. Saat aku kecil, lebih banyak bersama ibu di Banda Aceh karena ayah menyelesaikan pendidikan di IKIP Bandung. Kami masih tinggal di rumah nenek, super woman dalam keluarga. FYI, almarhumah nenek pernah mendapatkan bintang jasa bidang pendidikan dari Soeharto.

Ibuku satu-satunya anak perempuan dari  tujuh bersaudara. Pada generasi lapis kedua, yakni aku adik beradik dan para sepupu, hanya terdapat empat perempuan dari  19 bersepupuan. Dengan saudara dari pihak ayah yang sangat banyak meski kenal tapi jarang betemu karena umumnya sudah merantau ke Jakarta. komposisinya berimbang antara lelaki dan perempuan.

Berbeda dengan stigma bahwa syariat Islam yang berlaku di Aceh membuat perempuan terpinggirkan, dari zaman dahulu perempuan Aceh memegang peranan penting dalam politik dan pemerintahan. Para sultanah, panglima Malahayati, Tjoet Nja’ Dhien, Tjoet Meutia, sampai dengan walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin adalah bukti bahwa perempuan derajatnya sama dengan lelaki.

Beranjak dewasa, aku mempunyai tokoh-tokoh idola perempuan baik karena hobby maupun profesi. Sebagai penggemar film, bintang kesayanganku sepanjang masa adalah Meryl Streep dan Christine Hakim. Sebagai makhluk  IT (Information Technology), kagumku tak putus-putus pada Ada Lovelace, Hedy Lamarr dan Shinta ‘Bubu’ Dhanuwardoyo. Sains: Marie Curie. Bidang Kemanusiaan aku hormat menjura pada Mother Theresa, Malala Yousafzai daan Saur Marlina “Butet’ Manurung. Sastra dan fiksi: Simone de Beauvoir, Emily Dickinson, Agatha Christie, Trudi Canavan, J.K Rowling, N.H Dini. Dan tak boleh dilupakan inspiratorku dalam menulis: Rie Blora.

Masih banyak lagi para wanita yang kujadikan panutan karena karya-karya nyata mereka pada masyarakat baik di tingkat lokal maupun internasional.

Namun aku juga mengagumi laki-laki karena hal yang sama. Robert de Niro, Al Pacino dan Teguh Karya. Bill Gates, Steve Jobs, Mark Zuckerberg. Nikola Tesla. Muhammad Yunus. Ernest Hemmingway, Isaac Asimov, Jonas Jonasson, Putu Wijaya, Mochtar Lubis, dan banyak lagi.

Jika aku menuliskan nama-nama orang yang aku kagumi baik pria maupun wanita maka tulisan ini akan menjadi ensiklopedia mini.

Intinya: jika aku mengagumi sesorang—laki atau perempuan—bukan karena gendernya. Hasil kerja, buah pikiran dan karya nyata lah yang membuatku mengagumi mereka.

Millenia ketiga, masihkah feminisme relevan diperjuangkan?

 Terkadang aku terbingung-bingung bengong dengan ‘pertempuran antar gender’ yang masih terus berlangsung di tataran intelektual  lintas sektoral. Sebagai lelaki, aku tetap mempertahankan maskulinitasku, tapi bukan chauvinisme sempit pria ortodok. Itu adalah sifat dasar alami yang tak perlu diperdebatkan.

Namun sebagai penulis, aku menulis fiksi yang terinspirasi oleh realita menjadi kesadaran baru, realita alternatif, berbagai kebolehjadian. Problematika dunia postmodern bukan lagi menyetarakan wanita dengan pria, namun lebih pada pergulatan persepsi tentang bagaimana menjadi manusia yang bermartabat. Pekerja karir dan wanita rumahan. Terekspose dan tertutup. Tulisan-tulisanku, meski berupa fiksi, tak kurang yang mengangkat tema ini. Bukan hanya sebagai bumbu atau nuansa alakadarnya, tapi sebagai esensi tema sentral cerita, meski hanya cerita mini kurang dari seribu kata.

Pergulatan pemikiran tentang hal-hal tersebut harus dilakukan secara terbuka tanpa bias, tanpa niat mematikan daya nalar, mengolok-ngolok perbedaan ataupun pembenaran sendiri.

Sudah saatnya para wanita move on dari tema kesetaraan gender

Untuk itu, komunitas penulis seperti Ladiesiana justru harus dipertahankan eksistensinya agar pemikiran-pemikiran tentang peran wanita DAN pria mempunyai saluran bebas hambatan. Pemberitaan-pemberitaan yang tak terliput media utama tentang kegiatan menyangkut gender dari berbagai sisi poleksosbud saintek juga perlu terus dikemukakan.

Bukankan itu salah satu visi dan misi Ladiesiana?

Penutup yang benar-benar singkat

Sebenarnya kalimat di atas merupakan penutup dari tulisan ini. Kesimpulannya: selama masih ada yang ingin mepertahankan Ladiesiana, perjuangkan terus. Jadi sebagai sebuah cita-cita.  

Aku hanya ingin membuat catatan kecil.

Alangkah diskrimatifnya dewan juri jika memberikan poin lebih pada artikel ini karena penulisnya seorang pria.

Terima kasih.

Bandung,  9 Maret 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun