Aku berkenalan dengan mantan istri di Yogyakarta.
Dari kecil aku tak mempunyai kebencian terhadap etnis tertentu. Tambah mustahil aku membenci suku atau golongan tertentu setelah daya nalarku semakin berkembang.
***
Aku dan (mantan) istri pindah ke Jambi tahun 1997 karena pekerjaan, sehingga ketika terjadi kerusuhan 1998 disusul dengan tumbangnya Orde Baru, dampaknya sama sekali tak kurasakan. Warga Jambi umumnya acuh terhadap konstelasi politik nasional. Persoalan di Jakarta biarlah diurus oleh orang Jakarta. Pembicaraan di warung kopi tentang ‘lokak’ (rezeki), baik yang halal maupun diragukan kehalalannya. Naik turunnya mata uang lebih penting dari pergantian rezim.
Meski bukan pekerjaanku, aku membangun sistem aplikasi yang membuat tugas utamaku sebagai Field Supervisor menjadi sangat ringan. Tak ada lagi tantangan baik secara profesi maupun intelektual membuatku bosan. Meski krisis moneter, uang saat itu melimpah, tapi godaan juga bertambah. Kehadiran putriku membuatku mengambil langkah drastis: berhenti bekerja dan pindah ke lain kota. Berpindah sudah menjadi gaya hidupku dan (mantan) istri sejak kami menikah.
***
“Ho na neujak?*” tanya seorang dengan seragam loreng sambil mengembalikan KTP.
“Bireuen,” jawabku yang mengantuk berat akibat menelan dua pil anti mabuk tadi sebelum meninggalkan Banda Aceh. Malam yang gelap pekat di tahun 2001. Aku duduk di bangku depan L-300, dalam perjalanan mempresentasikan Rancangan Tata Ruang Kabupaten.
“Ho?” ulangnya.
“Bireuen!” jawabku ketus. Aku melirik emblem di dadanya: ATJEH LIBERATION ARMY. Sepucuk M-16 disandang di punggungnya.
“Kalau ada KTA** tolong dikeluarkan,” katanya lagi. Aku diam saja. Mataku masih mengantuk berat.