Ketika sebuah lagu membuatmu berhenti melangkah, sungguh sesuatu hal yang sangat menyedihkan, bukan?
I was all right for awhile
I could smile for awhile
But I saw you last night
You held my hand so tight
As you stopped to say, "Hello"
Oh, lelaki itu menerabas hujan badai yang menggila dengan kecepatan penuh. Tak ada yang bisa melihat air matanya mengalir deras laksana tanggul jebol dihantam hujan seratus tahun di balik pelindung muka helmnya yang mengabut.
Ia mengatupkan rahang sekuat-kuatnya, menahan jerit duka yang menggulung-gulung menyesak dada. Dan dengan mendadak ia mencengkeram handle rem.
Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi nyaris menyenggolnya. Menepi ke tepi di bawah pohon tamarind tua, yang sesungguhnya sangat berbahaya, karena sewaktu-waktu pohon teduh itu dapat rubuh dihempas angin topan yang lagi mabuk berlomba dansa.
Ia tersedu-sedu yang dapat dilihat dari bahu dan dadanya yang tersentak-sentak, namun tak ada yang tahu—kecuali Tuhan, yang selalu menurunkan hujan untuk setiap hati yang patah.
Oh, you wished me well
You, you couldn't tell
That I'd been crying over you
Crying over you
“Makan malamlah denganku untuk terakhir kalinya. Untuk sebuah kisah yang mungkin akan segera terlupa. Bukankah lebih baik jika memang harus pisah, secara baik-baik saja?”
Sungguh sebuah bencana.
Perempuan itu duduk berhadapan namun belakang punggungnya yang mengarah lelaki. Tak mau bicara meski sebutir aksara. Jika neraka ada di dunia, inilah buktinya.
Sebelum detik pertemuan itu, sang lelaki berhenti bertanya tentang salahnya. Karena ia tahu sesungguhnya alasan yang telah disiarkan ke seantero dunia hanyalah dusta belaka. Kebohongan yang diciptakan untuk menutupi kebohongan yang lain. Pengkhianatan yang disembunyikan terbongkar dengan sendirinya. Tapi kebencian yang ada karena ketahuan bersimpang, sungguh tak beralasan. Dari awal kisah bermula, mereka telah berjanji untuk selalu jujur di setiap ujar dan langkah, meskipun mungkin karena itu harus berpisah.