Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sepotong Bulan Sabit di Danau Lut Tawar

14 Juni 2021   07:50 Diperbarui: 14 Juni 2021   07:59 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepotong bulan sabit tergantung di langit malam yang masih mendung sehabis hujan. Dingin.

Apa yang kudengar hari ini dalam perjalanan panjang ratusan kilometer menempuh jalan aspal yang terkadang bergelombang residu gempa bumi yang kerap terjadi. Teror. Keserakahan. Isu. Pengalihan isu. Anggaran terlambat. Pemilihan mendatang. Teror. Teori konspirasi.

Sarapan pagi yang diburu-buru mengejar waktu tengah hari di jalan, hari Jumat. Masih menahan kantuk yang sulit diajak negosiasi. Dendeng paru dan telor matasapi. Teror di televisi. Masih pengemis yang sama setelah lima tahun menengadahkan tangan kepada setiap pejalan kaki.

Pemandangan yang nyaris tak berubah setelah 7 tahun (?) kutemui sepanjang garis marka jalan negara yang menghubungi antar desa, kecamatan, kabupaten. Tentu penguasa berganti nama. Soal kelakuan tak pasti. Menyabung argumen kelayakan penentuan pemekaran. Argumen dihadapkan dengan argumen cermin asimetri. Diskusi.

Singgah mengosongkan kantong kemih untuk segera diisi dengan secangkir kopi. Kembali berargumentasi tentang hal remeh temeh bumi manusia yang padat produksi, sembari menguji sistem memori neurosains kausalitas antar rezim dengan mengabaikan diksi. Teror di kanal berita televisi.

Mendaki. Keindahan berselubung kabut kanan kiri, sesekali berhenti untuk menangkap panorama dalam bentuk berkas digital terkalibrasi, mengukur jarak tempuh karena tergelincir sudah matahari. Kandungan kantong kemih yang meluap minta diganti. Sejenak lupa akan pro kontra cinta benci. Lagi.

Menurun, menuju makan malam, angin menghilang, kabut melayang di atas danau tenang. Hujan, sinyal sayup tak hendak sampai. Gelap, mati lampu tiga kali. Debat kusir tentang sumber energi tak henti-henti. Ikan nila asam jing dan sambal tiram, tapi tak ada depik? Apa boleh buat. Jangan lupa avocado kopi.

Kembali mendaki jalan ke persinggahan untuk merehatkan raga dan hati. Sinyal kembali meski setengah mati memutar seratus sembilan puluh tiga derajat arah barat hanya untuk membuka dinding dan menemukan pro kontra takut-tak-takut. Teror di jejaring, wajah-wajah mati. Betina paruh bebek dan iblis topeng besi.

Sepotong bulan sabit tergantung di langit malam menyuruh tidur. Aku mengirim imajinasi beribu rindu untuk orang-orang yang kukasihi. Oh, damailah di bumi!

 

Takengon, 15 Januari 2016

 

Sumber ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun