Gagasan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara akan memasukkan mata pelajaran Coding ke kurikulum SMK mulai 2016 mungkin patut diapresiasi.
Tetapi sebelumnya, penulis ingin memberikan ilustrasi yang penulis dapat dari seorang programmer kawakan berpuluh-puluh tahun lalu.
Calon klien, dari sebuah perusahaan besar, bertanya padaku :
“Apakah Anda bisa bekerja dengan Cold Fusion?”
Aku berpikir dalam hati: “Cold Fusion? Apakah berhubungan dengan reaktor nuklir? Mustahil…. Aku dipanggil karena mereka ingin membangun sistem….”
Tapi dengan yakin aku menjawab: “Tentu!”
Sepulang dari situ, aku mencari tahu apa itu Cold Fusion. Tak butuh waktu lama aku sudah menjadi pakar.”
Belajar dari pengalaman programmer kawakan tersebut, penulis tidak pernah menolak order dari klien, apapun platform yang mereka miliki. Profesionalisme juga mewajibkan penulis untuk memberikan saran yang terbaik sesuai kebutuhan dan budget pemberi pekerjaan, bukan berdasarkan apa yang penulis inginkan atau produk perusahaan provider yang dekat dengan penulis.
Penulis berani karena yakin sudah menguasai dasar-dasar pemrograman. Bahasa pemrograman terus berubah dan berkembang. Tanpa menguasai dasar, maka apa yang diajarkan hanya akan menjadi tak berguna saat bahasa pemrograman tersebut menjadi kadaluarsa atau pengguna jasa menggunakan platform yang berbeda. Pola pikir siswa hendaknya dibimbing pada pendalaman logika, penyusunan algoritma dan diagram alir serta struktur dasar semua bahasa pemrograman (grammar of grammar).
Yang kedua, bahasa Inggris mutlak harus dikuasai, karena baik tutorial maupun bahasa pemrograman menggunakan bahasa tersebut.
Setelah semua yang disebutkan (ilmu logika, algoritma, bahasa Inggris), coding hanyalah masalah ketersediaan perangkat dan latihan saja. Toh sekarang pustaka coding melimpah di internet, tinggal dikopas. Tapi tanpa menguasai dasar-dasar terlebih dahulu, kopipaste hanya akan berujung seperti situs revolusi mental yang heboh itu.