Kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat pada tanggal 25 Oktober 2015 lalu mendapat beragam tanggapan dari dalam negeri, terutama terkait bencana kebakaran hutan terbesar dalam sejarah Indonesia yang sudah berlangsung lebih dari 4 bulan. 43 juta penduduk Indonesia terdampak, lebih dari 500.000 orang menderita ISPA dan setidaknya telah jatuh 10 korban jiwa. Pengkritik maupun pendukung presiden saling melontarkan ejekan dan melempar kesalahan sehingga melupakan inti permasalahan: bagaimana mengatasi kebakaran hutan gambut yang sedang berlangsung dan menolong penduduk yang menderita akibat kabut asap yang terjadi. Sumatera, Kalimantan dan juga Papua tertutup kabut asap. Dampaknya sudah menjangkau jauh kemana-mana, termasuk negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. Secara jangka menengah dan panjang, peningkatan emisi karbon berdampak mempercepat pemanasan global.
 Emisi karbon adalah pelepasan karbon ke atmosfer. Bicara tentang emisi karbon secara singkat yang dimaksud adalah emisi gas penyebab efek rumah kaca, kontributor utama perubahan iklim. Sejak emisi gas rumah kaca sering dihitung sebagai satuan karbon dioksida, maka sering disebut sebagai "emisi karbon" ketika membahas pemanasan global atau efek rumah kaca. Sejak revolusi industri pembakaran bahan bakar fosil terus meningkat, yang berkorelasi langsung dengan peningkatan kadar karbon dioksida di atmosfer kita sehingga terjadi pemanasan global.
Â
Sekelumit Sejarah
Tahun 1950-an, para ilmuwan mendeteksi peningkatan kadar karbondioksida di udara yang disebabkan sisa pembakaran tak sempurna bahan bakar fosil. Perhatian para ilmuwan ditujukan pada dampak apa yang akan terjadi dengan adanya perubahan tersebut. Umumnya, mereka berkesimpulan bahwa kadar CO2 yang semakin tinggi itu akan membawa perubahan radikal pada kondisi cuaca global. Pada dekade berikutnya, beberapa ilmuwan bahkan menyimpulkan bahwa kondisi cuaca dunia peka terhadap perubahan sekecil apapun, sehingga setiap perubahan kondisi akan membuat cuaca dunia berubah menuju stabilitas baru, misalnya menjadi era jaman es atau banjir besar seperti jaman nabi Nuh.
Di tahun 60-an juga, beberapa kota mulai mengalami masalah serius dengan polusi kabut asap (smog), sementara ilmuwan masih berdebat dampak mana yang duluan akan terjadi, pendinginan karena partikel polutan atau pemanasan global karena emisi gas karbon yang dikenal dengan efek rumah kaca.
Dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pengaruh manusia terhadap lingkungan, maka pada tanggal 5 – 12 Juni 1972 PBB mengadakan Konferensi Antar Bangsa mengenai Lingkungan Manusia (United Nations Conference on the Human Environment) di Stockholm, Swedia, yang menelurkan Deklarasi Stockholm. Sejak saat itu, beberapa konferensi dan keputusan penting telah dibuat berkaitan dengan lingkungan dan perubahan iklim, antara lain: Earth Summit 1992 di Rio de Janeiro , Kyoto Protocol 1997, sebuah perjanjian Internasional yang merupakan pengembangan dari  United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 1992 yang bertekad untuk mengurangi emisi karbon secara bertahap.
Kyoto Protocol periode pertama dimulai tahun 2008 dan berakhir tahun 2012 diikuti oleh 192 peserta. Periode ke dua yang dikenal dengan Doha Angrement, berusaha membuat Negara-negara penyumbang emisi karbon terbesar untuk membayar ganti rugi sejumlah emisi karbon yang dihasilkan hanya diratifikasi oleh 36 negara. Amerika Serikat, Cina dan India mengisyaratkan tidak akan meratifikasi perjanjian yang memaksa mereka untuk membayar.
Sebagai tindak lanjut dari Kyoto Protocol adalah disusunnya berbagai Skema Investasi Hijau (Green Investment Scheme, GIS) yang bertujuan pada pembangunan ekonomi berkelanjutan tanpa merusak lingkungan.
Peran Indonesia
Sebagai negara kepulauan dengan hutan hujan terbesar di Asia, Indonesia termasuk salah satu paru-paru dunia. Sampai dengan tahun 60-an, 80 persen daratan Indonesia dilingkupi hutan yang kaya akan flora dan fauna unik, termasuk badak, tapir, harimau, gajah dan orangutan. Sejak banyak permintaan akan komoditi seperti kayu, pulp, karet dan sawit, laju deforestasi (pembabatan hutan) rata-rata lebih dari 1 juta hektar per tahun, tertinggi di dunia.
Sebanyak 40 persen dari yang hilang asalnya taman nasional, hitan lindung atau wilayah moratorium logging.
Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Dalam keadaan kering, sangat mudah terbakar. Lahan gambut ini tidak cocok untuk pertanian maupun perkebunan karena derajat keasamannya tinggi. Keterbatasan lahan membuat lahan gambut dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan. Untuk mengurangi derajat keasaman lahan gambut, biasanya dilakukan pembakaran sehingga abu sisa pembakaran akan menurunkan kadar asam atau pembenahan dengan pupuk yang tepat. Pembakaran merupakan cara yang pengolahan lahan yang murah sehingga banyak dilakukan. Karena kandungan bahan organiknya yang tinggi, saat dibakar, lahan gambut akan melepaskan karbon dioksida dalam jumlah besar ke udara.
Karena kebakaran hutan yang selalu terjadi  setiap tahun, Indonesia termasuk dalam sepuluh besar penyumbang emisi karbon dunia (510 Mega ton CO2e, data tahun 2013), meskipun secara dalam hitungan per kapita kita hanya berada di urutan ke 20. Hal ini lah yang menjadi kita ‘agak selamat’ jika harus membayar ‘pajak’ emisi karbon. Pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yoedhoyono, telah dilakukan beberapa kebijakan untuk mengurangi emisi karbon, di antaranya dengan menawarkan insentif  bagi investor GIS dan Moratorium Derofestasi tahun 2011 dan diperpanjang lagi pada tahun 2013.
Tapi dengan kejadian kebakaran hutan yang dikatakan sebagai ‘kisah bencana iklim terbesar planet bumi’ masih berlangsung sampai saat ini, diperkirakan Indonesia masuk 3 besar penyumbang polusi emisi karbon tahun 2015, dengan ‘produksi’ 1,35 Giga ton CO2e.
Kejadian ini mengundang keprihatinan dunia, terbukti dengan ukuran bantuan yang ditawarkan negara-negara sahabat. Negara-negara sepeti Malaysia, Singapura, Jepang dan Rusia menawarkan armada pesawat pemadam kebakaran mereka. Duta Besar Amerika untuk Indonesia Robert O Blake Jr mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan memberikan bantuan awal sebesar 2,75 juta dolar AS atau Rp 37,4 miliar untuk mendukung upaya Indonesia mengatasi dampak kebakaran hutan dan kabut asap.
Bulan lalu, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo telah berjanji kepada UNFCCC Â mengurangi kontribusi emisi karbon sampai 26 persen pada tahun 2020 dan jika diberi bantuan finansial sebesar 6 Milyar USD, akan menurunkan emisi karbon sampai 41 persen pada tahun 2030.
Jadi, sebenarnya bantuan yang akan kita terima adalah ‘bayaran’ untuk janji yang telah kita berikan, meskipun tersirat bahwa dunia masih meragukan pemerintah Indonesia mampu mewujudkan janji tersebut, terlebih lagi dengan adanya wacana pencabutan moratorium izin penebangan hutan Januari kemarin oleh Menteri Kehutanan, Siti Nurbaya.
Penutup
Kebakaran hutan dan kabut asap yang sedang terjadi oleh NASA dinyatakan sebagai rekor baru. Â Korban sudah tak terhitung. Merincikan kerugian dalam angka-angka justru hanya mengurangi arti dari RUGI itu sendiri. Anak-anak yang kehilangan masa depan. Tumbuhan dan hewan yang terancam atau bahkan sudah punah. Iklim global yang berubah. Bahkan rasa empati yang hilang demi membela orang per orang.
Yang kita butuhkan sekarang adalah membantu segera para korban, menemukan inti masalah dan solusinya, bersikap rendah hati, bekerja pintar tanpa basa-basi, bertindak tegas mengadili dan menghukum pelanggar undang-undang tanpa pandang bulu, dengan prioritas mafia kelas berat terlebih dahulu!
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H