GELANGGANG SENIMAN MERDEKA (selanjutnya disebut GELANGGANG) yang didirikan oleh Chairil Anwar pada tahun 1947 merupakan kumpulan seniman (tidak hanya sastrawan namun juga termasuk para pelukis, pemusik, dan seniman seperti Haruddin M.S., Mochtar Apin, Henk Ngantung, Basuki Resobowo,Asrul Sani, Rifai Apin dan lain-lain, dilatar belakangi idealisme untuk lepas dari ikatan atau pengaruh angkatan sebelumnya dan juga dan pemasungan kreativitas seni pihak penguasa yang mereka anggap munafik. Menentang chauvinisme dan menganut paham bahwa seni itu bersifat universal, tidak terkotak-kotak.
MANIFESTO KEBUDAYAAN
Sikap para seniman GELANGGANG yang menolak hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan berbenturan dengan mereka yang tergabung dalam organisasi seniman underbouw PKI, Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA), yang mengedepankan politik sebagai panglima, dan menjadikan karya seni sebagai alat propaganda politik. Puncaknya terjadi pada tanggal 17 Agustus 1963 ketika GELANGGANG menyatakan MANIFESTO KEBUDAYAAN, yang isinya:
Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
(Drs.H.B.Jassin - Trisno Sumardjo, - Wiratmo Soekito – Zaini - Bokor Hutasuhut - Goenawan Muhammad - A.Bastari Asnin - Bur Rasuanto - Soe Hok Djin - D.S.Moeljanto - Ras Siregar - Hartojo Andangdjaya - Sjahwil - Djufri Tanissan - Binsar Sitompul - Drs. Taufik A.G.Ismail - Gerson Pyok - M.Saribi Afn. - Pernawan Tjondronagaro - Drs.Boen S.Oemarjati)
Manifesto Kebudayaan ini segera mendapat dukungan dari para seniman yang gerah dengan tekanan LEKRA, pertikaian memanas sehingga terjadi polemik yang berkepanjangan. Mengenai pengaruh Manifesto Kebudayaan ini dapat dibaca dalam Bab 3 Skripsi Saktiana Dwi Astuti, 2009, judul MANIFES KEBUDAYAAN DALAM KESUSASTRAAN INDONESIA.
Di bawah hasutan PKI dan LEKRA, pada tanggal Tanggal 8 Mei 1964 Bung Karno melarang Manifesto Kebudayaan (yang diejek oleh LEKRA dengan sebutan MANIKEBU) dengan alasan “Karena Manifesto Politik RI sebagai pancaran Pancasila telah menjadi Garis Besar Haluan Negara dan tidak mungkin didampingi dengan Manifesto lain, apalagi manifesto itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap Revolusi dan memberi kesan berdiri di sampingnya.”