Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://web.facebook.com/PimediaPublishing/ WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Politik

Surat Kepercayaan Gelanggang dan Manifesto Kebudayaan: Sebuah Refleksi

24 Oktober 2015   14:49 Diperbarui: 4 April 2017   18:14 6688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

GELANGGANG SENIMAN MERDEKA (selanjutnya disebut GELANGGANG) yang didirikan oleh Chairil Anwar pada tahun 1947 merupakan kumpulan seniman (tidak hanya sastrawan namun juga termasuk para pelukis, pemusik, dan seniman seperti Haruddin M.S.Mochtar ApinHenk NgantungBasuki Resobowo,Asrul SaniRifai Apin dan lain-lain, dilatar belakangi idealisme untuk lepas dari ikatan atau pengaruh angkatan sebelumnya dan juga dan pemasungan kreativitas seni pihak penguasa yang mereka anggap munafik. Menentang chauvinisme dan menganut paham bahwa seni itu bersifat universal, tidak terkotak-kotak.

 

MANIFESTO KEBUDAYAAN

Sikap para seniman GELANGGANG yang menolak hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan berbenturan dengan mereka yang tergabung dalam organisasi seniman underbouw PKI, Lembaga Kebudajaan Rakjat (LEKRA), yang mengedepankan politik sebagai panglima, dan menjadikan karya seni sebagai alat propaganda politik. Puncaknya terjadi pada tanggal 17 Agustus 1963 ketika GELANGGANG menyatakan MANIFESTO KEBUDAYAAN, yang isinya:

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.

Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.

Jakarta, 17 Agustus 1963

(Drs.H.B.Jassin - Trisno Sumardjo, - Wiratmo Soekito – Zaini - Bokor Hutasuhut - Goenawan Muhammad - A.Bastari Asnin - Bur Rasuanto - Soe Hok Djin - D.S.Moeljanto - Ras Siregar - Hartojo Andangdjaya - Sjahwil - Djufri Tanissan - Binsar Sitompul - Drs. Taufik A.G.Ismail - Gerson Pyok - M.Saribi Afn. - Pernawan Tjondronagaro - Drs.Boen S.Oemarjati)

Manifesto Kebudayaan ini segera mendapat dukungan dari para seniman yang gerah dengan tekanan LEKRA, pertikaian memanas sehingga terjadi polemik yang berkepanjangan. Mengenai pengaruh Manifesto Kebudayaan ini dapat dibaca dalam Bab 3 Skripsi Saktiana Dwi Astuti, 2009, judul MANIFES KEBUDAYAAN DALAM KESUSASTRAAN INDONESIA.

Di bawah hasutan PKI dan LEKRA, pada tanggal Tanggal 8 Mei 1964 Bung Karno melarang Manifesto Kebudayaan (yang diejek oleh LEKRA dengan sebutan MANIKEBU) dengan alasan “Karena Manifesto Politik RI sebagai pancaran Pancasila telah menjadi Garis Besar Haluan Negara dan tidak mungkin didampingi dengan Manifesto lain, apalagi manifesto itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap Revolusi dan memberi kesan berdiri di sampingnya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun