No man, no madnessÂ
Though their sad power may prevail Â
Can possess, conquer, my country's heartÂ
They rise to failÂ
She is eternalÂ
Long before nations' lines were drawnÂ
When no flags flew, when no armies stoodÂ
My land was bornÂ
And you ask me why I love herÂ
Through wars, death and despairÂ
She is the constant, we who don't careÂ
And you wonder will I leave her - but how?Â
I cross over borders but I'm still there nowÂ
How can I leave her?Â
Where would I start?Â
Let man's petty nations tear themselves apartÂ
My land's only borders lie around my heartÂ
- lirik 'Anthem' dari Chess (Tim Rice)
Heboh dengan wacana WAJIB BELA NEGARA belakangan ini membuat saya mengulang kembali sebuah pertanyaan kuno: Apa definisi negara itu?
Singapura sebuah kota pulau. Australia sebagai benua. Saudi Arabia yang terdiri dari satu suku dan satu bahasa. Amerika Serikat, kuali besar berbagai 'bangsa'. Gugusan pulau dan laut bernama Indonesia. Dengan garis batas imajiner yang hanya ada di atas peta atau dalam khayal manusia.
Apakah mungkin karena sekumpulan populasi manusia yang sepakat menamakan wilayah tertentu tempat mereka tinggal, beranak-pinak, bercocok tanam, berburu hewan, menangkap ikan sebagai 'negara'?
***
Pikirkan lagi tentang Indonesia. Ketika pada suatu hari di pertengahan bulan Agustus tahun 1945, orang-orang mendengarkan suara pernyataan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta, apakah mereka yakin bahwa Papua Barat juga termasuk dalam klaim tersebut? Dasarnya apa? Karena sama-sama dijajah Belanda?
Atau terhadap Semenanjung Malaya dan Timor Timur karena dihuni bangsa serumpun, sehingga menggelorakan Konfrontasi Ganyang Malaysia dan 'Integrasi' Timor Leste (d.h. Timor Timur).
Atau hanya karena berdasarkan kejayaan masa lampau yang bernama Sriwijaya dan Majapahit?
Dalam usia setengah abad, saya menyaksikan jatuh bangunnya negara-negara. India menjadi tiga negara. Tembok Berlin runtuh disusul Jerman Barat dan Jerman Timur bergabung menjadi satu. Uni Soviet tercerai-berai dan terus berubah sampai sekarang. Mungkin anak sekolah sekarang tak tahu bahwa pernah ada negara bernama Yugoslavia dan Cekoslovakia. Hong Kong dan Makau hanya bagian dari Republik Rakyat Cina.
Bahkan mungkin tak lama lagi penggemar sepak bola akan kehilangan FC Barcelona di Liga Spanyol, jika Catalan memutuskan untuk menjadi negara sendiri.
Alangkah mudahnya garis imajiner di atas kertas itu berganti-ganti. Manusia datang dan pergi, tapi negara sendiri bermetamorfosis, mungkin tak pernah sempurna.
***
Dalam kisah-kisah perang dan mata-mata, kita mengenal para pahlawan dan pengkhianat. Pejuang dan pemberontak. Siapa yang menentukan mereka sebagai pahlawan atau pengkhianat? Pejuang atau pemberontak?
Bagi saudara-saudaranya para raksasa penguasa Alengka, Wibisana adalah pengkhianat. Di mata rakyat Blambangan, Menak Jingga adalah pahlawan. Ernest François Eugène Douwes Dekker alias Multatuli mungkin sebagai pengkhianat atau bukan-siapa-siapa bagi orang Belanda, berbeda dengan Westerling. Dalam keyakinan masing-masing mereka melakukannya dalam rangka BELA NEGARA.
Tak banyak yang mengaitkan mayoritas suara rakyat Minangkabau untuk Prabowo dengan PRRI/Permesta. Pendukung Jokowi menyebut-nyebut Prabowo sebagai anak pemberontak. Sedangkan bagi rakyat Sumbar, PRRI/Permesta adalah perjuangan menuntut kesetaraan! Dengan kata lain, PRRI/Permesta adalah sebuah gerakan BELA NEGARA.
Ketika anggota Komisi I DPR Mayjen TNI (Purn) Supiadin Aries Saputra menyebutkan bahwa Bela Negara berbeda dengan Wajib Militer, jelaslah bahwa Konsep Bela Negara sendiri belum ada, karena landasan konsep dari Bela Negara adalah wajib militer. Apalagi Undang-Undang atau Peraturan yang mengaturnya belum ada.
Polemik yang berkembang bertambah rumit: Menyangkut Wajib atau Tidak, anggaran dari mana, pelaksanaan seperti apa. Mengutip Sherlock Holmes, "Detil, detil."
Dan yang terakhir tak kalah pentingnya: apa motif yang mendorong pemerintah mengadakan BELA NEGARA saat ini? Apakah telik sandi dari Badan Intelijen Negara (BUKAN Badan Intelijen Nasional) mengendus bahaya dari luar?
Jika alasannya karena 'Presiden Sering Diolok-olok', alangkah naifnya! Siapa yang mengolok-olok Presiden? Media asing seperti The Straits Times atau Nikkei Asian Review? Media nasional seperti Kompas, Tempo atau MetroTV News?
Atau hanya tertuju kepada rakyat tak jelas, seperti saya?
Saya cinta negara saya. Kemanapun saya pergi, negara saya selalu ada di hati, sepeti lirik lagu dari drama musikal Chess di awal artikel.
Saya siap membela negara saya, termasuk dari pemimpin sendiri yang berbohong, menyengsarakan rakyat atau menjual kekayaan bangsa.
Jangan ragu akan itu.
Â
Bandung, 18 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H