"But if it takes less time to bring a new idea to the marketplace, it also takes less time for it to sweep through the society."
Alvin Toffler-Future Shock (1970).
Â
Suratkabar mingguan terkemuka London 'The Economist' edisi akhir Agustus 2013 memuat sebuah artikel yang membahas Kopi Luwak dari Indonesia. Mulai dari banyaknya pemalsuan kopi tersebut sampai dengan upaya untuk membuat kopi luak sintetis yang rasanya sama dengan yang asli.
Kopi termahal di dunia itu ($80 secangkir), dijadikan ajang promo untuk pelanggan baru mingguan tersebut. Dengan membayar pendaftaran pelanggan $5 per minggu akan mendapat secangkir kopi luwak gratis.
Hal ini mendapat tanggapan beragam dari pembaca. Ada yang menyebutkan bahwa kopi luwak adalah bukti sejarah kelam penjajahan Belanda, ketika para kuli kebun inlander harus bekerja keras menghasilkan kopi tanpa pernah boleh mencicipinya, akhirnya meminum kopi yang merupakan kotoran musang. Juga rasa jijik karena menyesap kotoran. Tapi tanggapan yang paling banyak adalah protes keras kelompok-kelompok penyayang binatang tentang pengandangan musang (Paradoxurus hermaphroditus) dan dipaksa untuk hanya mengkonsumsi biji kopi, disertai seruan untuk tidak meminum kopi luwak, bahkan ancaman untuk berhenti berlangganan jika promosi tetap berjalan.
Jika sebelumnya Kopi Luwak termasuk salah satu komoditi ekspor andalan, skandal promo The Economist mebuat permintaan dunia menurun. Tayangan di salah satu televisi kita tentang luwak dipenangkaran yang luka-luka karena kekurangan protein karena hanya diberi makan kopi (luwak adalah hewan omnivora) mempercepat kehancuran bisnis kopi luwak. Jika sebelumnya harga kopi luwak per kilo mencapai 1 juta per kilo, saat ini turun sampai 200 ribu atau 300 ribu saja.
Yang tidak boleh kita lupakan, di masa sekarang ini bukan hanya kualitas produk yang jadi tujuan konsumen. Proses untuk menghasilkan produk juga sangat menentukan apakah produk tersebut akan diterima oleh pasar.
Alvin Toffler, pada tahun 1970 dalam bukunya Future Shock (Kejutan Masa Depan), telah meramalkan bahwa kejadian seperti ini akan semakin banyak kita jumpai. Nike diboikot karena etika dan buruh anak, produk-produk Israel karena opresi negara tersebut terhadap rakyat Palestina, Monsanto dan GMA karena menolak penulisan label 'Makanan Hasil Rekayasa Genetika', atau perusahaan-perusahaan minyak yang dituduh merusak lingkungan, dan lain-lain.
Istilah boikot sendiri konon berasal dari nama seorang tuan tanah Irlandia, Charles Boycott, yang dikucilkan oleh pekerja dan masyarakat sekitar karena mengusir penggarap lahan yang tak membayar uang sewa.
Kembali ke kopi luwak, bagimana cara mengembalikan konsumen yang terlanjur 'benci'? Kalau hanya sekadar memperbaiki gizi luwak hasil penangkaran belum tentu akan meningkatkan ekspor yang terlanjur jatuh. Tapi setidaknya lebih hewani untuk para luwak.
Yang paling rasional (dan membutuhkan tambahan modal besar) adalah meliarkan kembali mereka dalam kawasan luas serupa habitat alaminya, dan memungut kotoran dari alam.
Rasional belum tentu menguntungkan. Apalagi jika formula kopi luwak sintetis berhasil ditemukan.
Â
Bandung, 1 September 2015
Â
Pustaka:
-Â http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/05/17/nohtlx-permintaan-kopi-luwak-terus-menurun
-Â http://listverse.com/2011/09/03/10-famous-boycotts/
-Â https://www.organicconsumers.org/essays/great-boycott-monsanto-and-gma
-Â Toffler Alvin. Future Shock. 1970.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H