Siang itu, 05 Juni 2018 Masehi bertepatan dengan 21 Ramadan 1439 Hijriah, Kota Charlotte terasa gerah dan panas. Prakiraan cuaca yang muncul dari gawai menunjukkan suhu 29 derajat celcius.Â
Maklum saja, bulan puasa tahun ini seperti tahun sebelumnya, berlangsung lebih lama dan bertepatan dengan musim panas di kota-kota di Amerika, termasuk negara bagian Carolina Utara.Â
Menyempatkan diri menyinggahi Kota Charlotte, Carolina Utara tidaklah direncanakan. Teman kamar (roommate) yang berasal dari Taiwan, meminta saya untuk menemaninya untuk menjemput teman dekatnya di Charlotte.Â
Tentu saja, saya tidak mau disebut orang yang tidak tahu berbudi, setelah dihari yang sama dengan sukarela dia mau mengantarkan saya menuju ke Kedutaan Besar Indonesia di Washington, D.C. yang ditempuh sekitar 7 jam dari Huntington, West Virginia.
Lembaran yang menyerupai kertas tipis tersebut harus dicelupkan sesaat di air, sebelum diatasnya diletakkan beberapa bahan seperti rice noodle, irisan daging sapi, udang, scallop, daun ketumbar (cilantro) dan acar (yang terbuat dari wortel dan ketimun), untuk selanjutnya digulung seperti layaknya membuat lumpia.Â
Makan malam "yang terlambat" tersebut sekaligus menjadi makan sahur bagi saya. Maklumlah hanya saya sendiri yang menjalankan puasa (yang tentu sebenarnya tidak perlu membuat maklumat apakah saya puasa atau tidak).
Toko donasi yang sudah berusia kurang lebih 116 tahun ini pada mulanya didirikan oleh seorang tokoh Gereja Metodhist, Edgar J. Helms dengan tujuan untuk memberdayakan dan menghidupi jemaat dan komunitas di sekitarnya yang kurang beruntung.Â
Berawal dari sebuah misi mulia tersebut, kini Goodwill telah memiliki kurang lebih 165 cabang independent yang tersebar diseluruh penjuru Amerika Serikat, ditambah pula 14 affiliasi di 13 negara.
Berlokasi di sebelah selatan Kota Charlotte, Billy Graham Library memiliki 2 atraksi utama, yakni sebuah gedung menyerupai Gereja yang disulap menyerupai museum, dan rumah Bill yang "dipindahkan" dari tempat aslinya.Â
Sesaat setelah menginjakkan kaki di pintu gerbang museum, dua orang petugas dengan sigap dan ramah menyambut kami sekaligus mengarahkan tujuan kami berikutnya di museum tersebut.Â
Secara garis besar Billy Graham Library layaknya sebuah buku biografi Billy Graham yang ditransformasikan menjadi sebuah pameran perjalanan hidup Billy Graham, yang mulanya berprofesi sebagai petani hingga menjadi seorang pendeta kharismatik di Amerika. Setiap kompartemen direkonstruksi kembali layaknya perjalanan nyata Billy di setiap lini masa yang berbeda.
Mengunjungi Billy Graham Library tidak hanya terbatas sebagai perjalanan dan napak tilas rohani bagi seorang Kristiani, namun lebih dari itu bagaimana pencapaian seorang Billy yang inspiratif, mampu meyatukan dan menjembatani segala bentuk perbedaan yang terjadi, baik pada Masa Perang Dunia ke -- II, Perang Dingin, maupun konflik internal di negara-negara berbeda dengan pendekatan kasih yang humanis.
Billy Graham sendiri sedianya telah wafat pada tahun ini, genap ditahun yang menandai usianya yang ke-100 tahun. Keluasan pergaulannya dan pencapaiannya, terlihat dari kemampuannya diterima di segala kalangan, mulai dari Pemimpin/Tokoh Dunia seperti JFK, Marthin Luther King, Muhammad Ali, hingga sekelompok gangster dari Brooklyn, yang dengan sukarela menyerahkan senjata yang digunakannya kepada Billy.
Padahal jika mau jujur banyak tokoh inspiratif Indonesia yang mungkin buku biografinya dapat direkonstruksikan menjadi sebuah pameran, meliputi memorabilia yang digunakan selama masa hidupnya. Namun entahlah menjelang tahun politik ini, gesekan antar kelompok lebih mudah ditemukan dengan saling menyalahkan dan saling mencari kesalahan masing-masing, yang nampaknya tidak berpangkal dan berujung.
Saking asyiknya menelusuri setiap sudut Billy Graham Library, tidak terasa waktu di gawai sudah menunjukkan sekira pukul 20.00 EST. Itu pertanda 40 menit kemudian akan tiba senja dan juga waktu berbuka puasa.Â
Kawan saya ini kembali mengingatkan dan menawarkan dimana lokasi untuk makan malam bagi kami, yang berarti waktu berbuka bagi saya. Untuk menemukan rumah makan yang menawarkan makanan Asia di kota Charlotte, tidaklah susah. Dari 731.424 penduduk Charlotte, sekitar 4% penduduk kota Charlotte, atau kurang lebih 36.403 jiwa merupakan keturunan Asia.
Karena preferensi kami yang kurang lebih sama, akhirnya kami sepakat mengunjungi satu restoran asia berjenis prasmanan atau buffet, yang terletak di sekitar daerah selatan kota Charlotte.Â
Luasnya restoran buffet tersebut, mengindikasikan ramainya pengunjung yang datang setiap harinya. Singkat cerita, tibalah waktu berbuka, teman sayapun seakan mengerti, kamipun meneguk segelas air mineral untuk membasahi kerongkongan kami, setelah seharian berkeliling sebagian kota Charlotte. Setelah itu kami bergegas mengambil makananan, sesuai dengan selera masing-masing.
Restaurant yang kami kunjungi ini seakan seperti "Melting Pot" para pengunjung dengan identitas  yang berbeda dari berbagai belahan dunia, namun disatukan oleh preferensi terhadap cita rasa yang sama.Â
Jangan ditanyakan bagaimana penampilan para pengunjungnya, apakah mereka yang sedang memakai busana musim panas, pekerja yang berpeluh keringat yang baru saja menyelesaikan pekerjaan jalan (road work), maupun pengunjung yang berhijab, dapatlah dengan mudah dijumpai. Karenanya di restaurant ini bukanlah ajang menilai kepribadian dan moralitas para pengunjung dari penampilannya, namun lebih kepada apresiasi cita rasa yang diberikan oleh para pengunjung kepada restoran yang menawarkan beragam menu makanan.
Akhir kata, selamat berbuka puasa, bagi anda yang menjalankannya.
Sepenggal Kisah Berpuasa di Amerika, Huntington, West Virginia
13 Juni 2018 M / 29 Ramadan 1439 H
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H